"Joanna, apa yang salah denganmu?"
Saya tidak mengerti maksud dari tatap putus asa yang Ibu beri pada saya.
"Tidak seharusnya Ibu membaca buku saya tanpa izin."
"Mengapa tidak kau ceritakan pada Ibu terlebih dahulu?"
Apa yang salah? Saya hanya jatuh cinta, sama seperti orang lain kebanyakan. Mengapa Ibu membuat semua jadi tampak begitu suram? Tak bisakah ia perlakukan semua dengan normal saja?
"Joan, bukankah sudah saya katakan sejak semula? Ini tak semestinya."
"Jadi benar, jatuh cinta hanya boleh bagi orang-orang tertentu saja?"
Kembali Judith menghela napas, lalu telepon sunyi.
Tiba-tiba saya merasa Judith bukanlah teman yang saya kenal. Bicara dengannya tidak lagi nyaman. Setelah sambungan telepon terputus, berminggu berikutnya saya tidak ingin menghubungi atau dihubungi olehnya. Kami tak lagi bertemu karena saya tidak pernah pergi ke sekolah. Tak ada lagi yang menarik di sana setelah teman terdekat saya pun berubah.
Tapi siang itu Judith datang, kulit putihnya menyala dibalut kemeja hitam pekat. Dia masuk, dan satu-satunya yang saya izinkan, ke kamar saya yang sepi saat seisi rumah tengah hingar oleh duka.
"Joanna?" dia mendekati saya yang duduk menghadap jendela. Saya mengerti nada tanya Judith juga jawaban apa yang dia inginkan.