Seperti biasa, hari terakhir pada bulan terakhir setiap tahun Ayah selalu mengajakku mengunjungi toko kalender. Ayah akan membeli satu kalender khusus dan istimewa, dengan tanggal-tanggal yang jelas dan seluruhnya berwarna hitam. Tidak ada warna merah dalam kalender Ayah, karena katanya setiap hari dalam hidup ini adalah hari kerja.
“Bagaimana jika aku ingin berlibur bersama Ayah?”
“Itu juga hari kerja, hari kerja Ayah membahagiakanmu.”
“Kalau aku ingin bermain bersama ayah seharian?”
“Itu juga hari kerja, hari kerja Ayah bermain bersamamu.”
Tak ada yang perlu dikhawatirkan, kalender Ayah sudah dirancang khusus dengan tanggal yang hebat, sehingga hari kerja yang padat tak akan merebut Ayah dariku.
Sepulang membeli kalender baru pada hari terakhir di bulan terakhir, Ayah akan membongkar kalendernya dan menyusun ulang tanggal-tanggal. Ini perlu, karena menyusun ulang tanggal-tanggal akan membuatmu menguasai mereka, jelas Ayah suatu waktu. Ayah memang amat menekankan itu. Sebab jika tidak, tanggal-tanggal akan berubah menjadi makhluk buas yang tak segan memangsa tanpa pandang siapa, dan yang paling berbahaya adalah tanggal-tanggal bisa saja menjadi penipu yang datang dengan amat halus, menutup mata orang-orang dan membisiki telinga. Apa yang mereka bisikkan ke telinga orang-orang? Aku bertanya dengan penuh penasaran. Mereka akan mengatakan bahwa tanggal masih banyak, tak perlu bergegas menjalankan tugas, orang-orang boleh bermalas, jawab Ayah. Kemudian Ayah menambahkan bahwa orang-orang yang tertipu akan banyak menyesal, sebab mereka yang bermalas dan menunda pekerjaan akan tertinggal oleh tanggal-tanggal yang memang bergerak amat cepat. Mereka dikuasai tanggal, maka kita tak boleh menirunya, tandas Ayah.
Ayah menggelar dua kalender, satu kalender tahun lalu, satu lagi kalender baru. Mata ayah berpindah-pindah, mencocokkan banyak hal. Sesuatu yang belum selesai di kalender tahun lalu akan dipindahkan di kalender baru. Aku menatap takjub tanggal-tanggal yang sudah Ayah beri tugas masing-masing.
Tiba-tiba Ayah menyerahkan alat tulis padaku.
“Ek, pilih tanggal dan tuliskan cita-citamu.”
Aku terkejut, Ayah tak pernah melakukan ini.
“Cita-cita?”
Ayah mengangguk. Tapi aku tak pernah merasa memiliki cita-cita.
“Ekla, kau ingin mengunjungi taman pelangi?”
Kali ini aku yang mengangguk.
“Kau ingin ikut Ayah memindahkan bintang ke langit-langit rumah?”
Aku mengangguk lagi, sedikit lebih semangat.
“Kau ingin bersama Ayah mengelilingi laut?”
Aku semakin bersemangat, mengangguk lebih mantap.
“Kalau begitu tuliskan. Sebab cita-citamu adalah rencana yang kau letakkan pada tanggal.”
Ayah tersenyum, aku tersenyum. Sejak saat itu, aku dan Ayah sibuk sekali membagi tanggal bagi hari kerja kami berdua.
***
Tahun berjalan terus, kalender kami banyak berganti. Pada setiap cita-cita yang selesai sesuai tanggal, Ayah kembali menyusunnya, memisahkan tanggal dari gerombolannya, dan memajangnya di pigura agar kelak menjadi jejak kenangan. Kelak tanggal-tanggal ini adalah bukti bahwa kau pernah menaklukkan masa, Ek, dan akan membuatmu terus bersemangat melakukannya, katanya ketika kami barusaja mengganti kalender ke duabelas sejak kalenderku yang pertama di usia lima. Aku lama memikirkan kata Ayah barusan dengan penuh takjub. Betapa hebat memiliki kalender, kagumku dalam hati, dan betapa hebat memiliki Ayah seorang penakluk tanggal-tanggal.
Kami terus lakukan itu, membeli kalender pada hari terakhir di bulan terakhir setiap tahun, membongkar ulang tanggal-tanggal, mencocokkan kalender lama dan baru, hingga membuat pilihan-pilihan ketika tanggal yang telah kami susun rupanya harus banyak mengalami bongkar ulang di tengah jalan.
“Bagaimanapun, tanggal-tanggal seperti angin, Ek, mereka memiliki arah hembusnya sendiri.”
Aku tertegun. Kepalaku banyak mengingat, kadang tanggal memang seolah tak bersahabat dan tanggal satu mengacaukan susunan tanggal lainya. Tapi itulah alasan terciptanya pilihan, sebab tanggal lainnya lagi akan selalu ada sebagai penyelesaian.
“Juga, dalam sejarah panjang kalender milik semua manusia, ada satu tanggal yang tak tertera di kalender, Ek.”
“Tak tertera di kalender? Kita tentu tak akan bisa menyusunnya, Ayah.”
“Benar. Karena tanggal itu mutlak milik Tuhan.”
Aku mengernyit seketika. Ayah tersenyum bijak.
***
Ini adalah kalender ke duapuluh dua, sejak kalender pertamaku di usia lima. Aku masih membeli kalender, menyusun tanggal, mencocokkan kalender baru dan lama, juga membuat pilihan-pilihan. Tapi semuanya amat jelas terasa berbeda. Aku telah dewasa, melakukan semua sendiri kini.
“Akan tiba masa kau mengerti tanggal yang tak tertera di kalender, Ek. Tak perlu khawatir, setelahnya kau hanya perlu melakukan semuanya seperti biasa.” ucap Ayah menasihati. Aku memang awalnya masih ingin berlaku abai dan tak peduli, tapi tanggal itu kemudian datang lalu terbukti.
Tanggal tak pernah tertera di kalender itu adalah tanggal yang muram, gelap dan sedih. Adalah tanggal mutlak milik Tuhan, tanggal yang sesungguhnya tak terhindari. Tanggal itu, tanggal dimana Ayah pergi, jauh pada jarak tak terbeli.
[-]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H