Ibu tersenyum dalam airmata, tubuhnya dihujani bunga-bunga. Tangan kanan Ibu terjulur mencoba meraihku, namun tak pernah sampai. Aku tak mendengar apapun, tapi dengan mudah kupahami bibir Ibu yang bergerak. “Bunga Aysi” bisiknya.
Seminggu lalu tepatnya Ibu datang dalam mimpi. Membuatku mau tak mau mengingat kembali hari itu, meski nyaris sepertiga abad kuhabiskan waktu berperang melawan semuanya dan berlaku seolah aku benar-benar lupa.
***
Tidak mudah menjadi anak Ibu, setidaknya bagiku yang tak suka bunga.
Barangkali Ibu pernah merasa gagal sebab tuan putri yang dibalutnya dengan gaun cantik -bahkan sejak belum mampu melafal panggilan padanya - kelak tumbuh menjadi brengsek ingusan yang keras kepala dan cenderung berani melawan, sulit terlepas dari selera-selera maskulin, dan jauh dari tampilan cantik manis.
“Bunga ini bunga paling unik bagi Ibu, Ays.” tangan Ibu terampil merapikan daun-daun kering kuning dari tangkai tua yang membusuk. Sedang aku tampak begitu bodoh mengekorkan mataku yang sudah teramat bosan pada Ibu yang terus panjang lebar bercerita tentang bunga uniknya. Aku sendiri samasekali buta pada unik yang Ibu maksud.
“Satu-satunya bunga tak berbunga, tapi tetap cantik.” tambahnya. Sungguh, awalnya ketika Ibu membawa salah satu titisan Adiantium itu dalam polybag kecil dulu, aku mengira itu adalah tanaman seledri jenis baru. Kenapa berepot ria pakai polybag, bukankah seledri itu hydrofit? tanyaku. Ibu malah melirikku sambil tertawa. Lidahmu bisa lecet kalau makan seledri jenis ini, katanya.
Memang, suplir itu tampak sederhana, berbeda dari bunga-bunga Ibu yang lainnya. Jangankan dibanding mawar yang memang feminim sekali membawa mahkota cantik berlapis-lapis, atau pada mirabilis jalapa yang sederhana namun begitu riuh dengan corong mahkota kecil-kecilnya, pada melati yang amat simpel dan bersahaja pun suplir kalah gemerlap. Ia hanya merimbun daun, hijau yang kadang gemerisik kala disentuh angin.
“Suka?” tanya Ibu yang memperhatikan tanganku memainkan daun suplir. Seperti maling yang tepergok, tanganku lekas kembali sembunyi di balik jaket. Aku menggeleng. Ibu menghela napas.
Aku seringkali berpikir, tidakkah Ibu lelah membujukku menyukai bunga? Jelas-jelas begitu tampak dari seluruh gelagatku bahwa jika sedang di rumah aku lebih suka diam di kamar bergumul dengan buku-buku atau komputerku, dibanding memperhatikan tunas-tunas yang tumbuh dari setiap ujung tangkai, lalu berhitung berapa banyak bunga yang mekar dalam seminggu. Tapi tanda-tanda kelelahan itu tak ada, Ibu malah terus gencar mencecar, menarik tanganku setiap kali ia menanam koleksi baru.
“Kita tanam amarilis mengelilingi pekarangan depan, Ays. Nanti dia akan tumbuh sebagai pagar hijau yang cantik dengan bunga merah muda.” tanpa basa basi Ibu meletakkan beberapa rumpun amarilis kecil di tanganku dan segera membagi tugas untuk menanam. Aku yakin, masam mukaku menyampaikan pesan pada Ibu bahwa direnggut paksa dari kekhusyukan membaca adalah suatu yang amat menyebalkan. Tapi alih-alih peduli, Ibu malah terus mendongeng tentang amirilis dengan penuh ceria padahal bunga itu dalam setahun hanya akan mekar sekali saja.
“Ini terakhir kali Aysi bantu Ibu menanam bunga.” datarku setelah Ibu berhenti bercerita. Dari ekor mata kulihat Ibu membalik tubuh ke arahku lalu berhenti bergerak. Aku memilih cuek saja, melanjutkan menanam hingga selesai, dan kembali masuk rumah.
“Ibu tidak minta kau berhenti berlatih beladiri, atau meminta kau berhenti membaca buku-buku otomotif, atau berhenti menulis cerita, bahkan Ibu tidak minta kau memanjangkan rambut,” di meja makan malam, seperti biasa Ibu akan menggelar rapat penting berdua yang tentu membahas apalagi selain aku-hobby-dan bunga Ibu, “Ibu hanya ingin memiliki sedikit saja bagian dari dirimu, Ays. Mencoba berbicara padamu tentang bahasa yang Ibu tak selalu mampu bicarakan, melalui bunga.”
“Aku tidak suka munafik. Bunga adalah lambang munafik. Aku tidak suka bunga.” aku menandas air minum di gelas setelah diam panjang mendengarkan Ibu bicara.
“Aysi, itu sudah berlalu. Itu jalan hidup, bukan salah bunga-bunga.”
Yang sudah-sudah, pembicaraan akan berhenti di sini sebab aku diam tak satupun memberi tanggapan, dan esok Ibu akan kembali seperti semula bersikeras mengajakku menyukai bunga-bunga. Tapi tidak malam ini.
“Terserah kau lah, Ays. Jadilah lelaki, jadilah apapun. Terserah kau.” Ibu meninggalkan meja makan, menuju kamar.
***
Bunga-bunga diterima Ibu nyaris setiap minggu. Bunga adalah pesan cinta Ayah yang diberikan tanpa menunggu hari istimewa. Romantis memang, Ayah lelaki yang pandai meraba perasaan wanita. Hidup kami, terutama Ibu, begitu indah. Seorang anak yang manis, suami penyayang, apa yang kurang? Barangkali hanya waktu. Sedikit sekali waktu berlangsungnya bahagia itu. Hanya sejauh aku yang barusaja mengenakan seragam putih biru.
Bunga-bunga Ibu perlahan berganti di tangan Ayah. Bukan bunga kecintaan, namun bunga penuh duri yang menusuk Ibu sampai luka. Bunga yang dulu hanya milik Ibu, kini juga milik perempuan lain. Dan sejak itu, bunga berhenti bersemi di tangan Ayah, sebab mereka telah hidup masing-masing. Sejak itu pula, genap dalam hati aku berjanji meski diam, akan terus melindungi Ibu dari bunga-bunga yang indah namun perih. Dan aku tak sedikit juga suka bunga apapun yang Ibu tanam.
Ada rasa tak enak dalam hati soal mimpi seminggu lalu. Kuambil cuti, segera melaju padanya. Malam di meja makan itu membawaku bekerja di kota jauh dari rumah, jauh dari Ibu, dan hanya pulang jika aku mau. Benar saja, sampai halaman tempat aku dulu dibesarkan, penyambutan tampak begitu gempita - wewarna indah yang dulu tak pernah aku bayangkan. Aku tidak ingin sulit berpikir apakah sekarang musim bunga atau tidak, setahuku aku melihat bunga-bunga Ibu mekar serentak. Mawar, asoka, melati, bunga pukul empat, amarilis, lili bakung, bougenvil, kenanga, anggrek krisan dan beberapa yang tak kutahu namanya. Mereka semarak sekali. Hanya suplir - bunga sederhana yang paling dekat denganku - yang tetap siteguh berteduh di teras, kukuh hanya mempersembahkan hijau dedaun.
“Bunga Aysi..” Ibu menjulurkan tangan. Tak tahu sejak kapan, Ibu terbaring di tempat tidur tanpa aktivitas. Tak ada kabar, tak ada pembicaraan, Ibu justru memanggilku pulang melalui mimpi.
“Maaf, Aysi tetap belum bisa menyukai bunga.”
Ibu menggeleng.
“Kau pulang, bunga Ibu telah lengkap.”
Aku, bunga Ibu yang dinantinya lama. Semua memang telah lengkap kini, bunga Ibu sempurna dalam formasi. Sempat dulu aku bertanya, sebenarnya untuk apa bunga-bunga Ibu, namun Ibu membiarkan aku menerka-nerka sendiri.
***
Hari ini setelah sekian lama tidak, aku kembali menyentuh bunga Ibu. Kelopak kelopak segar terkulai berjatuhan di tanganku, kurasakan kasih sayang Ibu yang menghidupi mereka dengan lembut. Sayangnya dari tanganku kemudian pula bunga-bunga itu jatuh, mengantar Ibu, menemaninya lelap dalam tidur panjang di balik pusara.
Inikah yang Ibu mau? Semoga Ibu suka.
[-]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H