“Ini terakhir kali Aysi bantu Ibu menanam bunga.” datarku setelah Ibu berhenti bercerita. Dari ekor mata kulihat Ibu membalik tubuh ke arahku lalu berhenti bergerak. Aku memilih cuek saja, melanjutkan menanam hingga selesai, dan kembali masuk rumah.
“Ibu tidak minta kau berhenti berlatih beladiri, atau meminta kau berhenti membaca buku-buku otomotif, atau berhenti menulis cerita, bahkan Ibu tidak minta kau memanjangkan rambut,” di meja makan malam, seperti biasa Ibu akan menggelar rapat penting berdua yang tentu membahas apalagi selain aku-hobby-dan bunga Ibu, “Ibu hanya ingin memiliki sedikit saja bagian dari dirimu, Ays. Mencoba berbicara padamu tentang bahasa yang Ibu tak selalu mampu bicarakan, melalui bunga.”
“Aku tidak suka munafik. Bunga adalah lambang munafik. Aku tidak suka bunga.” aku menandas air minum di gelas setelah diam panjang mendengarkan Ibu bicara.
“Aysi, itu sudah berlalu. Itu jalan hidup, bukan salah bunga-bunga.”
Yang sudah-sudah, pembicaraan akan berhenti di sini sebab aku diam tak satupun memberi tanggapan, dan esok Ibu akan kembali seperti semula bersikeras mengajakku menyukai bunga-bunga. Tapi tidak malam ini.
“Terserah kau lah, Ays. Jadilah lelaki, jadilah apapun. Terserah kau.” Ibu meninggalkan meja makan, menuju kamar.
***
Bunga-bunga diterima Ibu nyaris setiap minggu. Bunga adalah pesan cinta Ayah yang diberikan tanpa menunggu hari istimewa. Romantis memang, Ayah lelaki yang pandai meraba perasaan wanita. Hidup kami, terutama Ibu, begitu indah. Seorang anak yang manis, suami penyayang, apa yang kurang? Barangkali hanya waktu. Sedikit sekali waktu berlangsungnya bahagia itu. Hanya sejauh aku yang barusaja mengenakan seragam putih biru.
Bunga-bunga Ibu perlahan berganti di tangan Ayah. Bukan bunga kecintaan, namun bunga penuh duri yang menusuk Ibu sampai luka. Bunga yang dulu hanya milik Ibu, kini juga milik perempuan lain. Dan sejak itu, bunga berhenti bersemi di tangan Ayah, sebab mereka telah hidup masing-masing. Sejak itu pula, genap dalam hati aku berjanji meski diam, akan terus melindungi Ibu dari bunga-bunga yang indah namun perih. Dan aku tak sedikit juga suka bunga apapun yang Ibu tanam.
Ada rasa tak enak dalam hati soal mimpi seminggu lalu. Kuambil cuti, segera melaju padanya. Malam di meja makan itu membawaku bekerja di kota jauh dari rumah, jauh dari Ibu, dan hanya pulang jika aku mau. Benar saja, sampai halaman tempat aku dulu dibesarkan, penyambutan tampak begitu gempita - wewarna indah yang dulu tak pernah aku bayangkan. Aku tidak ingin sulit berpikir apakah sekarang musim bunga atau tidak, setahuku aku melihat bunga-bunga Ibu mekar serentak. Mawar, asoka, melati, bunga pukul empat, amarilis, lili bakung, bougenvil, kenanga, anggrek krisan dan beberapa yang tak kutahu namanya. Mereka semarak sekali. Hanya suplir - bunga sederhana yang paling dekat denganku - yang tetap siteguh berteduh di teras, kukuh hanya mempersembahkan hijau dedaun.
“Bunga Aysi..” Ibu menjulurkan tangan. Tak tahu sejak kapan, Ibu terbaring di tempat tidur tanpa aktivitas. Tak ada kabar, tak ada pembicaraan, Ibu justru memanggilku pulang melalui mimpi.