***
Ia berdiri di tepi rumpun pagar bunga reoussa, kabarnya negeri lain menyebut bunga ini dengan nama rose atau mawar. Aku mengamatinya dengan teliti, sebab ia berbeda dengan siapapun yang ada di negeri kami. Kulitnya sama putih, tapi postur tubuhnya lebih tinggi. Bola matanya hijau redup, berbeda dengan bola mata orang-orang di Nogalt yang kesemuanya berwarna emas pudar. Quissenya kokoh panjang dan berbulu mengkilat, berbeda dengan kami yang cenderung lebih kecil. Dan, untuk deskripsi lainnya aku hanya ingin menyebut laki-laki ini dengan satu kata, tampan.
Kami memulai semuanya tanpa apapun, hanya sebuah cerita. Ia tiba-tiba menyampaikan berbagai macam kisah padaku yang setia mendengarkan, dan semua terasa semakin tak mudah. Aku secara otomatis selalu menunggu dirinya di sekitar rumpun reoussa. Menanti saat-saat menegakkan cuping kuping atasnya yang pandai mengulas banyak cerita, terutama tentang nenek moyang. Juga bunga, pohon, rumput dan angin yang berhembus, ia seperti mengetahui segala asal usulnya. Berkali aku berdecak mendengar kisah yang mengalir darinya. Hingga Nan-gan dan dirinya membuat aku betah, kadang lupa untuk pulang ke rumah.
“Apakah malam hari di sini terang?” tanyaku.
“Kau belum tahu?”
Aku menggeleng.
“Kau ingin tahu?”
Aku mengangguk.
“Bulan kesepuluh, setelah delapan gerhana.” katanya, dan aku harus pulang.
[...]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H