Mohon tunggu...
Suci Maitra Maharani
Suci Maitra Maharani Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tidak suka kopi

Quarter of Century

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Sebelum Akad Adat

7 Oktober 2016   22:37 Diperbarui: 8 Oktober 2016   09:32 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Baiknya kau ubahlah sikapmu, Mel. Tak perlu terlalu culas begitu,” Cik Maya menasihatiku sembari melipat pakaian yang baru diangkat dari jemuran.

“Ini bawaan lahir, Cik. Tak bisa diubah.”

Cik Maya menghela napas, mungkin bosan. Sama bosannya dengan aku yang itu-itu terus mendengar nasihat saban hari.

“Kau mau menikah, tak mungkin akan begitu nanti di rumah mertua,” ia melanjutkan.

Cik Maya menatapku lama, aku lebih memilih lurus pada pakaian yang bertumpuk.

“Terutama ubahlah sikapmu pada Pak Jang. Kau seringnya tak sopan,” ia berbisik.

Ashh, sosok itu lagi.

“Kenapa bela dia terus sih, Cik?”

***

Aku tak pernah berminat pada tema keluarga yang sering dibicarakan oleh teman-teman, sejak masa sekolah dulu. Kepalang malu. Apalah yang bisa dibanggakan dari rumah kecil berisi enam orang tak seberapa seperti ini?

Apalagi jika dia muncul. Sudah tua, aneh pula. Pernah amat tak enak aku dibuatnya di depan teman-teman sekolah yang mengerjakan tugas di sini. Saat tengah menjamu dengan air putih saja, sekejap gelas sudah penuh diobok-obok jari-jarinya. Belum lagi dia mondar-mandir menginjak buku-buku yang ada di lantai.

Semenjak itu aku gagal menyajikan rasa nyaman pada setiap tamu yang bertandang ke rumah. Maka lebih baik aku tak lagi menerima tamu. Termasuk tamu-tamu spesial malam Minggu yang sesungguhnya sangat aku harapkan.

“Namanya orang sakit, Mel. Apa harus kita salahkan?” begitu Cik Maya dan suaminya meminta permakluman.

Tapi sungguh, tak tahan aku atas gangguan-gangguan yang dibuat itu orang tua di rumah ini. Dia berantakan. Sering mengacak-acak rumah dengan tingkahnya yang kerap membawa barang-barang ke tempat dia mau dan tak pernah mengembalikan lagi. Dia tak bisa bicara, meski Cik Maya bilang dia tidak bisu. Tatapan matanya kosong dan entah gambaran seperti apa tentang hidup yang ada dalam kepalanya.

Fakta lain yang juga menyebalkan adalah, dia sama sepertiku. Ditinggalkan keluarga dan hidup menumpang di rumah sanak. Cik Maya adalah adik kandung Bapak, orangtua yang ingin kupeluk sepenuh kerinduan tapi sekalipun belum pernah jumpa. Sedang aku adalah anak titipan pada murah hati Cik Maya, yang dibesarkannya hingga selesai sekolah. Dia? Tua-tua merepotkan itu? Aku tak punya banyak waktu buat menanyakan perihal mengapa dia bisa di sini bersama keluarga Cik Maya.

***

“Pakaian adat dua stel, make-up, sepatu, sapu tangan. Jangan lupa kaus-kaus ringan buat kau pakai sebagai lapisan dalam, Mel,” Cik Maya mempersiapkan kebutuhan akad nikah adat esok pagi.

“Kue-kue yang perlu dipersiapkan, Cik?” Aku memisahkan barang-barang yang ditunjuk Cik Maya ke keranjang khusus.

“Itu nanti biar dibungkus orang belakang. Kau bantu nata saja.”

Kukira dulu aku akan jadi perawan tua. Bagaimana bisa aku percaya diri didekati laki-laki jika hanya akan selalu menolak saat mereka ingin datang ke rumah. Syukurlah calon suamiku ini mengerti dan tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Saling mengenal selama tiga bulan, ia menyatakan ingin aku jadi istrinya. Dan esok itu kami melakukan prosesi akad adat sebelum akad negara lusanya.

“Mel ini tatalah di ruang yang lebih lapang, biar aman,” salah seorang tetangga yang membantu membuat kue menunjuk barisan puluhan loyang legit tak jauh dari oven.

Memang rumah sedang ramai sekali sejak seminggu terakhir ini. Acara akad adat akan berlangsung lebih sakral dan meriah daripada akad negara, sehingga membutuhkan banyak perlengkapan termasuk suguhan hidangan yang telah ditentukan kedua belah pihak keluarga sebagai prasyarat. Kue legit ini adalah prasyarat penyambutan keluarga mempelai laki-laki yang dijadikan sebagai simbol penerimaan kedua pihak keluarga.

Aku memindahkan satu per satu loyang legit ke meja panjang ruang keluarga, agar lebih aman dari jangkauan siapa pun, terutama anak-anak. Bukanlah apa, hanya aroma legit yang sedap terlalu menggoda jemari untuk mencolek dan menjilat.

Beres, aku kembali ke kamar untuk merapikan pernik pakaian adat yang akan dikenakan esok. Belum juga sepuluh menit duduk, aku mendengar suara memanggil dari belakang.

“Mel! Legit kau, Mel!”

Makin lama suaranya makin keras. Jelas ini bukan panggilan, tapi teriakan.

Legit? Perasaanku tak enak.

Dan benar saja, dari ambang pintu ruang keluarga tampak beberapa loyang telungkup di lantai dengan isi nyaris hancur. Sebagian untungnya masih tersisa rapi di atas meja.

Aku tak berpikir apa pun lagi, tidak juga memungut loyang dan legit yang bertebaran. Aku dengan sigap bergerak meraih sapu di sudut, lalu mengayunkannya ke tubuh tua satu-satunya yang berdiri di sisi meja panjang tempatku meletakkan legit.

“Kenapa selalu aku yang kau ganggu? Kenapa semua jadi kacau jika ada kau, hah?” aku mengamuk. Betapa sedih aku melihat legit-legit yang tercecer tak berguna di lantai. Sedang membuatnya sungguh tak mudah dan memakan waktu lama. Lalu bagaimana dengan acaraku esok jika prasyaratnya berantakan bahkan kurang?

Si tua itu tak melawan, hanya menutup wajahnya dengan lengan. Bagusnya memang begitu, ia harus tahu diri.

“Mel sudah, jangan.”

“Mel cukup. Biar nanti kita buat lagi legitnya.”

“Mel sudahlah, Mel.”

Beberapa orang tetangga yang mengetahui kejadian ini mencoba meleraiku dari belakang tapi tak aku sedikit pun gentar.

“Mel, sudah cukup!” kali ini Cik Maya sambil mencoba meraih lenganku dari belakang, tapi tetap gagang sapuku masih terayun kasar ke tubuh si tua yang berlagak tanpa dosa.

“Mel! Kau ini kesetanan apa?” Cik Maya merangsek menghadang tubuh yang kini meringkuk di sudut itu lalu dengan paksa merebut sapuku sambil membentak keras, amat keras. Seumur tinggal bersamanya baru kali ini kulihat Cik Maya melotot penuh marah.

“Cik Maya lihat, legitku berantakan. Padahal ini sudah sore dan acara akan dimulai esok pagi,” aku masih terengah menahan emosi yang belum tuntas.

“Mel kau keterlaluan. Tidak sopan. Lihatlah di rumah kita ini sedang banyak orang. Malu!"

“Kenapa Cik Maya bela dia terus, hah? Dia merepotkan, Cik. Dia mau menghancurkan acaraku!” sungguh suara kerasku pada Cik Maya tak pernah kuduga. Beberapa saat kemudian aku sadar ketika melihat wajah Cik Maya memerah redup dan jarinya yang menggenggam sapu gemetaran.

Aku tak kuat menahan semuanya. Aku berada di puncak kesal dan jadilah air mata tumpah di hadapan Cik Maya. Aku tergugu beberapa saat dan Cik Maya hanya memandangku saja, tajam.

Cik Maya memapah Pak Jang –si laki-laki tua pengidap demensia- untuk berdiri. Tubuh kuyu setelah menjadi samsak emosiku itu bergetar. Pak Jang menatapku takut.

“Mel, cium tangan sekarang, minta maaf sama Bapakmu,” Cik Maya mengulurkan tangan kanan Pak Jang sedikit maju ke depan.

“Bapakku?”

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun