Aku memindahkan satu per satu loyang legit ke meja panjang ruang keluarga, agar lebih aman dari jangkauan siapa pun, terutama anak-anak. Bukanlah apa, hanya aroma legit yang sedap terlalu menggoda jemari untuk mencolek dan menjilat.
Beres, aku kembali ke kamar untuk merapikan pernik pakaian adat yang akan dikenakan esok. Belum juga sepuluh menit duduk, aku mendengar suara memanggil dari belakang.
“Mel! Legit kau, Mel!”
Makin lama suaranya makin keras. Jelas ini bukan panggilan, tapi teriakan.
Legit? Perasaanku tak enak.
Dan benar saja, dari ambang pintu ruang keluarga tampak beberapa loyang telungkup di lantai dengan isi nyaris hancur. Sebagian untungnya masih tersisa rapi di atas meja.
Aku tak berpikir apa pun lagi, tidak juga memungut loyang dan legit yang bertebaran. Aku dengan sigap bergerak meraih sapu di sudut, lalu mengayunkannya ke tubuh tua satu-satunya yang berdiri di sisi meja panjang tempatku meletakkan legit.
“Kenapa selalu aku yang kau ganggu? Kenapa semua jadi kacau jika ada kau, hah?” aku mengamuk. Betapa sedih aku melihat legit-legit yang tercecer tak berguna di lantai. Sedang membuatnya sungguh tak mudah dan memakan waktu lama. Lalu bagaimana dengan acaraku esok jika prasyaratnya berantakan bahkan kurang?
Si tua itu tak melawan, hanya menutup wajahnya dengan lengan. Bagusnya memang begitu, ia harus tahu diri.
“Mel sudah, jangan.”
“Mel cukup. Biar nanti kita buat lagi legitnya.”