Mohon tunggu...
Suci Maitra Maharani
Suci Maitra Maharani Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tidak suka kopi

Quarter of Century

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Gelanggang Suro

2 Oktober 2016   16:10 Diperbarui: 2 Oktober 2016   20:00 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika menahan napas terus-terusan tak menyebabkannya mati, tentu sudah dilakukan. Tapi ia tak kuat, sebab berlari kencang ratusan kilometer jelas meledakkan parunya jika berkeras menahan laju sirkulasi udara. Maka ditutupnya hidung sekuat tenaga dengan kedua telapak tangan, sekedar meredam deru engah yang memancing perhatian.

Ia meringkuk di sudut puing bangunan tua. Pasti sudah tak terawat selama entah tahun. Dinding pekat lumut yang licin dan lembap, lantai berbaur dengan sampah daun kering hingga serupa tanah becek, dan, dari ringkuknya ia dapat melihat mahagelap langit mengawasinya melalui mata bulan yang muram. Bangunan ini tak beratap.

Ngos-ngosannya reda, meski masih menyisakan gemetar. Ia belum yakin kakinya mampu diajak kembali berlari, sedang denyut jantungnya sempurna terdengar dari telinga sendiri. Bagaimana bisa ia di sini? Menghindar dari maut yang mengejar tak kenal ampun. Membuatnya tersuruk-suruk, tak jarang terjungkal tentu juga menabraki apa pun yang ada.

Ini hutan. Ia seorang diri. Tak bisa bicara, apalagi menjerit. Saat belum genap ia menyerap kesadaran, makhluk itu datang bersama samurai yang tak henti diarahkan ke lehernya. Makhluk itu ingin ia mati.

Tak tahu arah mana yang tepat sebab larinya tanpa kompas ataupun penunjuk arah, kaki kurus itu berlari secepat bisa sambil bergidik ketakutan diterjang apa pun menghadang. Segala semak perdu tumbuhan liar berduri merobek telapaknya yang tanpa alas. Justru makhluk hitam besar di belakangnya kian kalap. Tangan panjang berkuku tajam berkali berhasil menyentuh pundaknya, yang segera disambut sukur dalam hati karena ia tak berhasil diraih.

Tak tahu rupa jalanan yang ditapakinya. Kadang air-air berkecipak terinjak, kadang dahan-ranting kering, kadang tanah lembap, dan satu kesempatan ia menginjak udara kosong. Tubuhnya terpelanting ke bawah, menggelinding kasar menggasak berbagai-bagai apa. Ia berharap baiknya mati saja ditelan ini jurang, namun hidup masih belum ingin sudah. Baru ketika tanah melandai lalu datar, ia berhenti berguling dan tergolek lemas. Napasnya masih nyala meski dengan dicicil perlahan.

Mulo kui manuto, Nduk.”*

Ia terbelalak seketika. Barusan suara Ibu berkata padanya. Tapi di mana? Di mana bibir yang berucap barusan? Setidaknya ia tahu ada sosok tempatnya bisa berlindung. Tapi di mana? Ia membuka mulut, ingin berseru agar Ibu tau ia tengah dihimpit maut.

Baru saja menarik napas mengumpulkan tenaga sisa, makhluk itu kembali berdiri di sana. Menyeringai menang dengan samurai terhunus bersiap menebas. Mana ada pilihan lain, ia kepalang berhadapan dan matilah juga nanti biar jika kalah. Asal bukan karena menyerah.

Samurai terayun menebas udara kosong meninggalkan hawa dingin menggigit. Ia mampu berkelit, berhasil minggir. Tanpa menunggu hilang peluang, diserang leher itu. Leher hitam pekat dari makhluk tinggi besar menjulang. Gigi-giginya menancap tajam. Leher itu melenguhkan erang, samurai terlepas dan tangan berkuku panjang berusaha membetot tubuhnya. Terlanjur dalam taring menghujam, makhluk tinggi besar itu limbung dan rubuh kemudian.

Ia menang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun