“Kamu sudah diwariskan, Nduk. Maka terimalah, dan jangan mengelak. Mengabdilah.”
Suara Ibunya menggema dari atap-atap ufuk. Ia tak mengerti, terpenting adalah ia selamat kini.
Ia bersiap menjawab titah sang Ibu dan hendak menolak. Namun mengherankan manakala rahang terbuka, telinganya seketika menangkap lolongan panjang keluar dari mulut yang sama miliknya, memecah gulita manunggal setelah bulan entah sejak kapan lenyap.
***
“Res, Restu, bangun!” sebuah suara memanggilnya.
Ia hampir terlonjak. Segera dengan serakah dihirupnya udara banyak-banyak. Dahinya basah, tubuhnya juga. Jarum arlojinya menunjuk dinihari pukul setengah tiga.
“Mbak, aku mimpi soal itu. Ibu bilang aku sudah diwariskan ke Eyang Widalangka. Katanya aku harus mengabdi, aku tak boleh lagi mengelak. Mbak, aku takut. Aku tak mau.”
Sosok Mbak di hadapannya menggeleng. Air matanya mengucur sejak tadi tak henti-henti.
“Bapak meninggal, Res,” ucapnya berbarengan dengan elu tangis meledak.
“Hah? Kenapa?”
Yang ditanya tak menjawab, malah makin khusyuk kian gugu.