Ajaran islam menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan berimbang, yaitu pola yang terletak di antara kekikiran dan pemborosan. Konsumsi di atas dan melampaui tingkat mederat (wajar) dianggap israf dan tidak disenangi islam.
Salah satu ciri penting dalam islam adalah bahwa ia tidak mengubah nila-nilai dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat, tetapi juga menyajikan kerangka legislatif yang perlu untuk mendukung dan memperkuat tujuan-tujuan ini dan menghindari penyalahgunaannya. Ciri khas islam juga memiliki daya aplikatifnya terhadap orang yang terlibat dalam pemborosan atau  tabzir.
Menurut Naqvi, (1985) etika islam dalam hal konsumsi adalah sebagai berikut:
1. Tauhid (unity atau kesatuan)
Dalam perspektif islam, kegiatan konsumsi dilakukan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Adapun dalam pandangan kapitalistik, konsumsi merupakan fungsi keinginan dari keinginan, nafsu, harga barang, pendapatan, dan lain-lain tanpa memperdulikan dimensi spiritual, kepentingan orang lain dan tanggung jawab atas segala perilakunya.
2. Adil (equilibrum)
Islam memperbolehkan manusia untuk menikmati berbagai karunia kehidupan dunia yang disediakan Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 168.
Yang artinya: "wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagimu." (Q.S. Al-Baqarah [2]: 168)
Akan tetapi, pemanfaatan atas karunia Allah tersebut harus dilakukan secara adil sesuai dengan syariat sehingga selain mendapat keuntungan material, ia juga merasakan kepuasan spiritual.
3. Kehendak bebas (free will)
Alam semesta adalah milik Allah SWT, manusia diberikan kekuasaan untuk mengambil keuntungan dan memanfaatkan sebanyak-banyaknya dengan baik dan  sesuai dengan kemampuannya atas barang-barang ciptaan Allah SWT.