“Ayo, kita berangkat sekarang.”
Mereka berjalan ke lobi dan memanggil taksi. Perjalanan menuju Pondok Pinang terasa lambat. Liam sudah sering bolak balik Palembang Jakarta untuk urusan bisnis, tapi belum pernah ke daerah Pondok Pinang. Benaknya dipenuhi kenangan masa kecil di Jakarta. Kadang ia heran dengan cara kerja otak manusia. Sesuatu yang sudah sangat lama masih bisa diingatnya dengan jelas, tapi kadang hal-hal yang baru dilakukan bisa terlupa.
Jalan menyempit ke area perumahan. Sebuah rumah besar bercat putih berdiri anggun di ujung jalan. Pagarnya tinggi berwarna hitam emas. Taksi menepi dan berhenti. Papa yang tak sabar segera membuka pintu dan keluar. Mama menyusul.
Liam membayar ongkos taksi lalu perlahan melangkah keluar. Papa dan Mama menunggu di depan pagar. Pintu gerbangnya terbuka lebar seolah hendak menyambut dengan tangan terbuka. Mereka berjalan bersama-sama menuju teras.
Tiba-tiba pintu ruang tamu terbuka dan seorang gadis cantik mengenakan cheongsam merah keluar. Tatapannya langsung tertuju pada pria muda yang diapit oleh kedua orang tua itu. Gadis itu terpana. Matanya membulat dan bibirnya yang ranum membuka. Setelah beberapa saat ia mengangguk dan tersenyum manis.
Chen bersama kedua orangtuanya bergegas menghampiri. Mereka tersenyum lebar. Sesuai kesepakatan, bila Wei mengangguk itu artinya ia setuju dengan pertunangan ini.
Liam yang terhenti di ujung teras terpukau menatap Wei Yin. Siapa menyangka gadis ingusan yang ceking dulu bisa berubah menjadi wanita cantik jelita? Senyumnya pun manis sekali, membuatnya terpesona.
Mama menyenggol lengan Liam. Sudah beberapa menit, tapi belum ada kode dari putranya. Ia menyikutnya lagi lebih keras.
Pria itu menoleh. “Ada apa, sih, Ma?” bisiknya gusar.
“Kamu mau batuk?”
“Oh … ehem … ehem ….” Liam berdeham kuat-kuat.