Mohon tunggu...
Maimai Bee
Maimai Bee Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Hai. Saya Maimai Bee, senang bisa bergabung di Kompasiana. Saya seorang ibu rumah tangga yang mempunyai tiga orang putra. Di sela waktu luang, saya senang membaca dan menulis. Salam kenal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kode Keras Saat Imlek

2 Februari 2023   09:43 Diperbarui: 2 Februari 2023   09:49 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image Pexels-sang-tran

"Tolong ambilkan gorden itu, Wei Yin," kata Chen dari atas tangga. Ia melepas gorden lama dan menjatuhkannya ke atas lantai. Sudah seminggu ini mereka sibuk melakukan dekorasi untuk menyambut Tahun Baru Imlek.

"Wei Yin!" Chen berteriak gusar melihat adiknya yang diam mematung di karpet. Gadis itu tampak melamun menekuri jemari kakinya.

"Wei, kamu dengar nggak, sih? Aku sudah capek, tau!" serunya lagi lebih keras.

Gadis itu terkejut. "Oh-eh. Apa, Ko?" Ia menengadah menatap pada pria di ujung tangga.

"Gorden itu ulurkan kemari!"

"Oh, iya. Tunggu, Ko." Wei Yin meraup gorden warna merah hati bergaris keemasan dari tumpukan di sofa dan membawanya ke atas tangga. "Ini, Ko."

"Hm." Chen Hwa meraih ujung gorden dan memasukkannya satu-persatu ke tiang berulir keemasan. Gorden model smoke ring dengan poni indah. "Kamu melamunkan apa tadi?" ujarnya.

Wei Yin menunduk tak menyahut. Ia duduk di kaki tangga.

"Kamu masih memikirkan rencana pertunangan itu?"

"Bagaimana Koko bisa tahu?" gadis berambut lurus sebahu itu mengangkat kepala. Ia menatap abangnya yang cekatan melakukan pekerjaan dadakan ini. Biasanya ada tukang-tukang mereka yang melakukan tugas lapangan seperti ini. Namun, Alpian, Tomi, Hans dan Jondis juga sedang memasang pernak-pernik di rumah pelanggan lain. Menjelang tahun baru memang banyak pesanan interior dan gorden. Barangkali karena status waspada Covid-19 yang sudah diturunkan sehingga tahun baru kali ini dirayakan lebih semarak.

Chen merapikan pinggiran kain lalu menatap puas. Ia mengantongi obeng dan perlahan turun.

"Ayo, kita bereskan  tempat ini. Nanti aku akan mentraktirmu di Kafe Chop and Steak."

Wei Yin menggeleng. "Aku lagi nggak selera makan, Ko." Ia berjalan mengambil tas kain besar dari atas sofa dan mulai mengumpulkan perkakas.

"Kamu harus makan. Jangan terlalu dipikirkan apa kata Mama. Semua akan baik-baik saja. Trust me." Chen mengedipkan sebelah mata lalu merapikan ujung-ujung kain gorden.

"Entahlah, Ko. Membayangkan Liam Soe membuatku sebal. Bagaimana mungkin Papa dan Mama menjodohkanku dengan bandit cilik itu?" Wei Yin nyaris berteriak putus asa. Ia menghentakkan kaki penuh amarah.

"Hei ... hei, sabar, Sis. Jangan terpancing emosi. Lagipula Liam sudah nggak cilik lagi, kan?"

Gadis berkulit seputih susu itu mendengkus. Ia menarik resleting kuat-kuat dan menutup tas kain.

"Kapan terakhir kali kamu bertemu Liam?"

"Kelas satu SD. Dia sudah kelas empat waktu itu. Kami sekolah di yayasan yang sama, beda dengan Koko. Aku masih ingat betul dengan kenakalannya. Dia pernah memberikan seekor kadal hijau padaku." Wei Yin bergidik.

"Kadal bukan binatang berbahaya. Kamu memang cengeng."

Wei Yin melotot geram. "Apa kata, Ko Chen? Ulangi lagi!" Disodoknya punggung abangnya dengan gagang bor wireless.

Pria tinggi itu meringis. "Ya, deh. Maafin. Tapi, pertunangan ini, kan, baru sebatas wacana."

"Siapa bilang begitu?" Wei Yin melemparkan tatapan membara. "Mama jelas-jelas mengatakan keluarga Liam akan datang melamar pada Imlek hari ketiga. Aku ini tumbal bisnis Papa!"

Chen merangkul bahu adiknya. "Hus, bukan begitu yang kudengar. Bisnis kita lancar-lancar saja. Papa hanya ingin mendekatkan persaudaraan dengan keluarga Liam. Kudengar Om Piter, Papanya Liam adalah sahabat lama Papa sewaktu di Bengkulu. Ketika keluarga Liam pindah ke Jakarta, mereka sempat sepakat akan menikahkan salah satu dari kita. Kebetulan Liam hanya satu-satunya putra mereka. Aku tahu Papa bertujuan baik."

Wei Yin mendecih. "Siapa yang bilang begitu?" Ia menatap abangnya skeptis. Jangan-jangan pria itu disuruh Papa untuk membujuk.

Bersambung.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun