Mohon tunggu...
Maimai Bee
Maimai Bee Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Hai. Saya Maimai Bee, senang bisa bergabung di Kompasiana. Saya seorang ibu rumah tangga yang mempunyai tiga orang putra. Di sela waktu luang, saya senang membaca dan menulis. Salam kenal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kulit Pisang

16 Desember 2022   09:40 Diperbarui: 16 Desember 2022   10:16 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image Pexels-Any-Lane

Rendi mengeluarkan sepatu futsal dari tas ransel lalu menyimpan ke rak sepatu di garasi. Dikeluarkannya baju kostum dan memasukkan ke keranjang baju kotor. Setelah menyimpan tas, ia bergegas ke kamar mandi.

"Abang mau ke mana?" tanya Timo dari atas karpet di depan televisi.

"Mau mandi. Kenapa emangnya, Tim?" Rendi balas bertanya.

Timo menggeleng. "Enggak. Ini masih sore, kok, Abang sudah mau mandi." Ia mengangkat bahu dan melanjutkan menonton film kartun kesayangannya.

Di sebelahnya, Gina sedang asyik bermain sendiri. Adik bungsunya itu suka bermain boneka barbie. Rendi dan Timo tidak ada yang suka bermain boneka. Namun, ibu menyuruh mereka untuk menemani adik. Kadang Dewi, anak Bude Tuti yang di sebelah rumah datang untuk bermain bersama Gina. Usia adiknya kini enam tahun. Kata ibu, beberapa bulan depan lagi ia akan mulai sekolah SD.

"Tadi Abang habis main futsal di GOR. Badan jadi berkeringat dan lengket," kata Rendi sambil berhenti untuk mengambil handuk.

"Kamu nggak main bola dengan teman-teman?" tanya Rendi lagi.

Timo menggeleng. "Tadi hujan, Bang. Ini baru berhenti."

"Oh, iya. Tadi di GOR juga hujan lebat. Untung Abang nebeng mobil Pak Toha, jadi nggak basah kuyup," kata Rendi lagi. Ia masuk ke kamar mandi dan menguncinya.

"Tim, tolong ambilkan pupuk NPK. Ada di kaleng bekas susu, di bawah wastafel," kata Ibu dari teras depan.

"Iya, Bu," sahut Timo bangkit berdiri. Ia meletakkan remote di atas karpet lalu berjalan menuju dapur. Di dekat pintu ada sebuah kulit pisang tergeletak di atas lantai.

'Hm, siapa yang membuang kulit pisang sembarangan?' pikir Timo sambil terus melangkah. Diambilnya kaleng pupuk dan diberikannya pada ibu yang sedang merapikan tanaman.

"Ini, Bu," kata Timo. Setelah itu, ia segera kembali menonton di depan televisi.

Gubrak.

Terdengar suara benda jatuh.

Timo dan Gina spontan berdiri dan berlari mendatangi asal suara keras itu.

"Siapa yang menaruh kulit pisang di sini?" tanya Rendi murka. Ia tampak terduduk di lantai.

"Abang kenapa?" tanya Gina polos.

"Abang terpeleset," jawab Rendi kesal.

Ibu buru-buru datang dari teras. "Ada apa, Nak?" tanyanya bingung. "Kenapa kamu duduk di situ, Ren?"

"Ini, Bu. Ada kulit pisang di lantai. Abang nggak melihatnya, jadi terpeleset," kata Rendi cemberut.

Timo tertawa kecil. "Lagi pula, Bang Rendi nggak hati-hati," katanya sambil bersandar ke tembok.

"Tadi sudah Timo lihat di situ," tambahnya lagi. "Makanya kalau jalan dilihat, Bang."

"Jadi, kamu yang buang kulit pisang sembarangan?" tanya Rendi memelototi adiknya.

"Enggak, Bang," tangkis Timo cepat. "Dari tadi sudah ada di situ."

"Kalau gitu, Dek Gina, ya?" tanya Rendi melihat pada adik bungsunya.

Gina tak menyahut. Ia menunduk sambil memengang erat bonekanya.

Rendi menjadi kasihan. "Dek Na jangan nangis," bujuknya pelan. Dilihatnya mata bocah itu mulai berkaca-kaca. "Abang enggak marah, kok."

Mama menghampiri Gina dan berjongkok di sebelahnya. "Apa benar, Dek Gina, yang menaruh kulit pisang itu?" tanya Mama lembut.

Bocah imut itu mengangguk pelan. "Dek Na lupa, Bu. Tadi pas makan pisang, Mbak Dewi datang. Dek Na langsung pergi main ke luar," tuturnya pelan.

"Maafin Dek Na, Bang," kata Gina pada Rendi yang masih duduk di lantai.

Ibu mengambil kulit pisang itu. "Lain kali, dibuang dulu sampahnya ke tempat sampah, ya, Dek. Baru pergi main," kata Ibu pada Gina.

"Iya, Bu. Dek Na minta maaf."

Ibu mengangguk. "Ibu senang Adek berkata jujur dan mau mengakui kesalahan sendiri. Jujur itu perbuatan yang terpuji. Salah satu ciri-ciri anak baik."

Gina mengangkat kepala dan tersenyum. "Iya, Bu. Dek Na mau jadi anak baik."

"Bagus, jadi jangan diulangi lagi," kata Ibu lembut.

"Kamu juga Timo, kalau melihat ada sampah di rumah terutama kulit pisang langsung diambil, Nak. Buang ke tempat sampah. Jangan dibiarkan saja," nasehat Ibu pada Timo.

Bocah laki-laki itu mengangguk. "Iya, Bu," katanya takzim.

"Bukan cuma Timo. Bang Rendi, Dek Na dan kita semua harus menjaga kebersihan," kata Ibu lagi. "Lingkungan yang bersih adalah cerminan hidup sehat."

Kotabaru, 22 November 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun