Gina melotot. "Adek nggak mau. Itu kucing Adek. Pokoknya Adek yang dapat duluan." Bocah itu sedikit merajuk. Matanya mulai berkaca-kaca karena sedih. "Adek sayang sama si Belang," katanya pelan.
"Ada apa ini, Tim?" tanya Ibu yang tiba-tiba sudah berada di belakang kursi Timo.
Timo menengadah. "Adek Gina mau pelihara kucing, Bu. Itu yang di kolong meja."
Ibu melongok ke bawah meja. Si Belang sedang berbaring sambil menjilati kaki depannya.
"Loh, itu, kan, kucing Mpok Eha. Tadi Ibu ketemu anaknya di depan. Dia sudah keliling komplek mencari. Kasihan, Ibu nggak tahu kalau kucingnya ada di sini," kata Ibu panjang lebar.
"Biarin aja, Bu, kita diam-diam aja. Kucingnya biar untuk Adek," ujar Gina. "Mpok Eha, kan, nggak tahu."
"Hus, itu perbuatan tidak terpuji, Dek," kata Ibu lembut. "Itu sama saja menyuruh Ibu berbohong. Tadi dia kelihatan sangat sedih."
Ibu berjongkok di depan Gina. Ditatapnya mata putri tercintanya itu. "Bagaimana kalau boneka barbie kesayangan Adek yang hilang? Sedih nggak rasanya?"
Gina terdiam sesaat. Ia mengangguk pelan. "Iya, Bu."
"Nah, begitu juga yang dirasakan Mpok Eha dan keluarganya. Mereka akan bersedih," tutur Ibu lagi. "Jadi, bagaimana kalau kucing ini kita pulangkan bersama-sama?"
Gadis kecil itu bergeming. Tampak masih belum rela berpisah dengan si Belang.