"Pak---saya, Pak. Saya---saya yang punya bola itu," kata Timo tergagap. Ia buru-buru maju mendekati pintu rumah hijau itu. Ia takut bolanya tidak dikembalikan.
"Itu bola saya. Tolong jangan ditahan, Pak," pinta Timo gugup. Ia menatap penuh harap.
"Akhirnya ada juga yang mengaku," kata Pak Kumis sambil menjepit bola di pinggang kiri. Ia berjalan mendekati Timo dan menatap kesal.
"Kamu tahu akibat perbuatanmu? Kamu lihat jendela saya pecah." Pak kumis memarahi Timo dengan nada tinggi.
"Maaf, Pak. Tapi bukan saya yang membuatnya, Pak," jawab Timo pelan. Ia takut bapak itu semakin marah. Namun, ia juga tidak terima dituduh memecahkan kaca jendela.
Farid masih tertunduk. Ia melirik ke arah teman-teman yang lain, tidak ada yang berani mengeluarkan suara. Dirinya semakin merasa bersalah mendengar Timo dimarahi. Temannya itu sama sekali tidak mengadu. Padahal Timo tahu ia yang menendang bola itu tadi.
Pak Kumis mendengkus. "Mau mengelak juga kamu? Sudah jelas jendela saya pecah. Lihat kacanya berserakan di lantai. Kamu bilang bukan kamu yang bikin? Padahal kamu sudah mengaku sebagai pemilik bola ini." Ia mengomel sambil menunjuk-nunjuk ke muka Timo. "Kamu mau saya laporkan ke Pak RT?"
Timo tidak menjawab. Ia memandang ujung jempol kakinya yang penuh debu.
Farid tak tega melihat temannya. Ia menguatkan diri. "Maaf, Pak. Timo tidak salah. Saya yang salah, Pak," katanya pelan. "Saya tidak sengaja menendang bola ke jendela bapak. Maaf---maafkan saya, Pak."
Setelah mengatakan itu, Farid tertunduk. Ia tak mampu melihat wajah pemilik rumah itu.
"Hm, benar begitu?" tanya Pak Kumis pada Timo.