Terdengar tawa melengking yang menyeramkan. Joni berbalik. Dilihatnya sesosok makhluk melayang di atas jendela sambil memegang leher.
Rambutnya panjang berkibar. Sosok itu berbalut kain putih compang-camping dengan perut membuncit terbuka. Ia semula tidak mengenali karena—karena wajah itu sudah tidak utuh lagi. Hancur. Kulitnya tercabik-cabik dan belatung mengisi rongga mata sebelah kanan. Joni bergidik ngeri, tenggorokannya seakan tercekik.Perut makhluk itu menganga lebar. Isinya hampir tumpah keluar, berwarna merah dan berbau busuk.
Di antara jalinan usus yang terburai, ada sesuatu yang berbentuk seperti manusia kecil. Kepalanya keluar dari kantong perut dan tangannya mencengkram tepian kain yang menutupi sebagian tubuh ibunya. Matanya yang semerah darah menatap Joni tajam. Tiba-tiba pria itu merasa sesak, napasnya pendek-pendek. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Perutnya mulai bergejolak, mual.
“Apa maumu?” tanyanya gemetar.
Sosok itu tertawa lagi. Suaranya melengking membuat bulu kuduk berdiri. Terdengar lolongan anjing di kejauhan.
“Aku menagih janjimu, Joni. Katamu kita akan menikah. Anak kita mencari bapaknya.” Makhluk kecil yang menggelantung di perut itu menyeringai lebar, ia memiliki gigi-gigi panjang dan runcing, tangannya berkuku panjang dan seolah siap mencabiknya.
“Aku sudah menikah!” teriaknya putus asa.
“Karena itu aku menjemputmu. Kau hanya boleh menjadi pengantinku.” Sosok itu melayang turun sambil tertawa-tawa.
Joni terbelalak dan berusaha mundur.
“Kenapa, Joni? Kau takut?” Makhluk itu tertawa melengking. "Kemana keberanianmu saat mendorongku hingga tergilas truk brengsek itu? Kau ingin melenyapkanku yang tengah mengandung anak jadahmu, aibmu!"
“Aku minta maaf! Aku tidak bermaksud membunuhmu, Susan. Itu adalah kecelakaan!” jerit Joni ketakutan.
“Aku mencintaimu, Joni. Juga anak kita. Kami merindukanmu,” ujar makhluk itu lagi mempertontonkan isi perutnya.
Joni lari terbirit-birit. Ia berusaha membuka pintu kamar, tapi terkunci. Dilihatnya pintu balkon yang terbuka. Tanpa pikir panjang ia berlari keluar. Makhluk itu terus memburu, menempel tepat di belakangnya.
Tak lama terdengar suara berdebum keras dari bawah.
***
Jiliana meringkuk gemetaran di kamar mandi. Ia berulangkali memanggil Joni untuk menyalakan lampu, tapi tidak ada jawaban. Pintu kamar mandi terkunci dari luar. Ia menangis ketakutan.
Tiba-tiba lampu kembali menyala sehingga membuatnya bernapas lega. Bergegas ia memakai kimono handuk dan membuka pintu. Ia mengernyit karena ternyata pintu itu tidak terkunci. Dilihatnya ke sekeliling, tidak ada tanda-tanda kebaradaan suaminya. Kamar itu masih seperti semula. ‘Barangkali Bang Joni pergi keluar sebentar,’ pikirnya seraya menyisir rambut panjangnya.
Terdengar ketukan di pintu kamar. Wanita itu berdiri dan mengikat rapat kimononya. “Ada apa, Pak?” tanyanya setelah membuka pintu.
Tampak dua orang berseragam polisi dan seorang petugas hotel berdiri di depannya. “Maaf mengganggu, Bu. Boleh kami bertemu dengan suami, Ibu?" tanya petugas hotel sopan.
"Dia sedang tidak ada di kamar. Mungkin pergi sebentar mencari udara segar."
Petugas hotel itu berdeham. "Begini, Bu. Dari pantauan CCTV, kami melihat ada seseorang yang terjatuh dari balkon kamar ini." Ia berhenti sebentar, mencoba mengintip ke dalam kamar. "Bisakah ibu ikut dengan kami? Sepertinya suami ibu yang terjatuh. Tubuhnya ditemukan di tepi kolam renang, penuh darah. Kami butuh ibu untuk mengidentifikasikan,” ujar petugas hotel.
Jiliana membelalak. ‘Bagaimana mungkin? Ia bahkan belum menikmati malam pertama, dan kini sudah menjadi janda.’
Tamat.
Kotabaru, 04 Oktober 2022
Catatan: Cerpen ini pernah tayang di FB Penulis
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI