Aku berdiri dan berjalan di samping Finn yang menuntun kuda. Kami berjalan bermil-mil. Telapak kakiku terasa sakit, tapi kutahan. Aku tak ingin menyusahkan Finn yang telah membawaku.Kami tiba di pinggir sungai yang berwarna madu. Finn mengikat kudanya dan memberikan waterskinnya padaku. "Minumlah, kau terlihat lelah."
"Air sungai itu terlihat lezat," ucapku menampik.
Finn menggeleng. "Itu sungai keabadian. Kau tidak boleh meminumnya. Hanya orang yang sudah benar-benar mati boleh meminumnya."
"Bukankah aku sudah mati?" tanyaku berkeras.
"Kau belum melewati tahap penghakiman. Jiwamu masih bisa bersatu dengan ragamu bila hakim menolak kedatanganmu. Lagi pula, namamu tidak ada di daftar penjemputan."
Aku tertunduk. "Apakah kau juga dahulu begitu, Finn?"
Pria itu mengangguk seraya duduk di tunggul. Dibiarkannya kuda itu minum bebas di pinggir sungai.
"Aku dulu keras kepala. Aku tak mengindahkan peringatan itu dan meminum air sungai madu. Rasanya memang lezat. Lalu saat jiwaku ditolak hakim, aku tidak bisa kembali ke tubuhku. Aku terlunta-lunta. Tuan Hakim lalu menawarkanku menjadi penjemput jiwa. Kupikir itu lebih baik dari pada gentayangan tak menentu."
Aku mengangguk. "Terima kasih sudah menjagaku, Finn."
Pria itu tak menyahut dan melepaskan alas kakinya. Ia menunjuk ke arah kakiku. "Kau pakai ini, telapak kakimu sudah penuh luka," ujarnya menyorongkan sandal talinya.
"Tapi--- kau akan memakai apa?" tanyaku tak tega.
"Kau lebih membutuhkan. Pakailah," katanya sambil berjalan menghampiri kakiku. Dipasangkannya ke telapak kakiku yang melepuh. Sandal itu kebesaran, tetapi terasa empuk.
"Ayo, kita harus terus bergerak. Waktu kita pendek." Finn meraih tanganku dan menggiring kudanya.
Kami berjalan beberapa kilometer lalu Finn mulai kepayahan. Ia beberapa kali tersandung. Aku mencengkram lengannya untuk menahannya tetap di sisiku.
"Apakah kau mau beristirahat sebentar?" tawarku.
Finn menggeleng. "Kita harus tetap berjalan," tegasnya.
"Kau sudah lelah. Apakah kau ingin minum?" bujukku lagi.
"Tidak usah, Zoya, aku tidak lelah!"
"Kau sudah hampir tumbang tadi, Finn!" balasku berteriak.
Pria itu berhenti dan menatapku lama. "Ini bukan lelah. Kekuatanku berkurang karena berbuat kebaikan. Dalam pekerjaanku tidak boleh ada kebajikan, semua dilakukan dengan kejam. Aku seharusnya memasukkan jiwamu ke dalam karung dan menyeretnya di belakang kuda. Aku tidak boleh berbicara apalagi berteman dengan jiwa yang kutangkap. Belas kasihan adalah kelemahan. Aku belum pernah begini sebelumnya. Kurasa, kau adalah kelemahanku, Zoya."
Aku menatapnya dengan perasaan yang berkecamuk. "Kalau begitu, berhentilah berbuat baik padaku, Fin. Aku tak ingin kau mati," bisikku tersekat.
Pria itu menggeleng. "Aku tak bisa, Zoya. Aku terpesona sejak melihatmu di gurun itu. Mungkin ini takdirku. Biarlah aku menanggung kelemahanku ini."
Aku mengangkat tanganku meraba tengkorak wajahnya. Sudah lama rasa takutku hilang. Mungkin karena kebaikannya.
"Aku tidak ingin kau berkorban untukku, Finn."
Pria itu menangkup tanganku dengan kedua metakarpalnya. "Aku sudah mati, Zoya, tidak akan bisa mati kedua kali. Sedangkan kau masih memiliki kesempatan untuk hidup. Aku akan membantumu."
"Lalu bagaimana denganmu? Kau menderita karenaku," ujarku parau. Aku memeluknya. Terasa dingin dan tipis.
"Aku mungkin akan hancur dan menghilang selamanya," sahutnya pelan, "atau bila Tuan Hakim berkenan, dia dapat membuatku bereinkarnasi."
Aku tertegun dan menatap matanya yang berpendar merah. "Bagaimana caranya agar kau bisa bereinkarnasi?"
Finn menggeleng. "Banyak syaratnya, hanya Tuan Hakim yang tahu. Sekarang kita harus terus berjalan, waktu semakin pendek."
"Aku akan memohon pada Tuan Hakim untuk membantumu , Finn. Aku rela memberikan jiwaku," ujarku penuh tekad.
Finn tertawa. Baru sekali ini kudengar, tawanya lembut dan membuat tubuhnya bergetar. Lalu ia terdiam dan menatapku dalam. "Aku lebih suka bila kau yang tetap hidup, Zoya. Kupikir aku telah jatuh cinta padamu. Kau tidak takut padaku dan tidak pernah sekali pun mengeluh. Andai kita berpisah nanti, kuingin kau tahu, aku menyayangimu."
Bersambung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H