Mohon tunggu...
Maimai Bee
Maimai Bee Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Hai. Saya Maimai Bee, senang bisa bergabung di Kompasiana. Saya seorang ibu rumah tangga yang mempunyai tiga orang putra. Di sela waktu luang, saya senang membaca dan menulis. Salam kenal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mati Suri (bagian 2)

3 November 2022   10:30 Diperbarui: 3 November 2022   10:31 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image pexels-t-nguyn

"Kau sudah melihat wajahku. Sekarang, aku tidak bisa meninggalkanmu," sesal pria itu menutupkan kembali kerudungnya.Aku masih terpaku. Akan tetapi, lebih baik pergi bersama makhluk ini daripada sendirian di kegelapan. Aku menggigil.

Pria itu melepaskan lapisan terluar dari jubahnya dan menyelimuti punggungku. "Kau kedinginan. Pakailah," ujarnya dengan suara rendah bergemuruh.

Tanpa banyak komentar, kumasukkan kedua tanganku ke dalam jubah dan mengikatnya di pinggang. Kugulung beberapa kali agar tak terinjak saat melangkah.

"Ayo, cepat! Kita harus segera pergi. Perjalanan masih jauh," desak makhluk itu mendorongku. Diangkatnya tubuhku ke atas kuda, lalu ia menyusul duduk di belakangku.

Kami berkuda dalam diam. Aku tak tahu sudah berapa lama kami berjalan. Aku tertidur beberapa kali karena kelelahan. Tiba-tiba kuda melambat dan berhenti. Makhluk di belakangku meluruskan tubuh dan melompat turun. Ia menjulurkan tangan untuk membantuku turun.

"Kita istirahat sebentar," ujarnya mengikat kudanya ke sebatang pohon besar.

Aku melayangkan pandangan. Cahaya temaram yang tak tahu berasal dari mana menerangi tempat kami berhenti. Daerah ini seperti sebuah oasis dibandingkan padang pasir yang telah kami tinggalkan.

"Di mana kita sekarang?" tanyaku parau. Tenggorokanku terasa kering, seolah sudah berhari-hari tidak dilewati air.

Makhluk itu tidak segera menjawab. Ia mengeluarkan sebuah waterskin dari pelana kuda lalu minum. Aku memandangnya terbelalak, air tidak tampak membasahi jubahnya. Bagaimana tubuh berupa tengkorak itu bisa minum?

Setelah puas minum, ia memberikannya padaku. "Minumlah, kau pasti haus," ucapnya seraya duduk di atas rerumputan.

Aku hendak menggeleng menolak, tapi takut melukai perasaannya. Kuraih waterskin itu dan minum. Airnya terasa sejuk dan enak. Aku meminumnya dengan rakus.

"Siapa namamu?"

"Zoya Geraldine. Kau?" Aku balas bertanya.

"Sekarang aku disebut Finn The Reaper," ujarnya datar.

Aku mengernyit. "Aku pernah mendengar tentang Grim Reaper. Malaikat pencabut nyawa."

"Sebenarnya aku bukan malaikat. Aku hanya pengumpul jiwa-jiwa yang telah mati dan membawanya ke pintu penghakiman."

Aku terkesiap. "Apakah itu artinya aku sudah mati?" Aku menangkup wajah dan melihat kakiku. Semua masih utuh.

"Jiwamu tersesat di padang gurun pengayak. Seharusnya kau bisa segera kembali ke dunia setelah aku melepaskan kakimu." Finn menggeleng. "Namun, kau melihat wajahku. Tidak ada yang bisa hidup setelah melihatku."

Bibirku bergetar, aku mulai menangis dalam diam. Air mataku meleleh membayangkan wajah mama dan papa, mereka pasti sedih sekali menghadapi kematianku.

Finn berdeham. "Tak ada gunanya menangis," ujarnya datar, "berapa usiamu sekarang?"


"Delapan belas tahun," jawabku pedih. "Kau?"

"Aku? Sekarang mungkin sudah 472 tahun," ucapnya setengah merenung, "aku berusia dua puluh satu tahun saat meninggal."

Aku mengamati Finn yang duduk bersandar di pohon. Pria itu pasti sangat gagah sewaktu hidupnya. "Kenapa kau meninggal?" tanyaku ingin tahu.

Pria itu mengangkat bahu. "Kecelakaan berkuda."

"Aku terpeleset di tangga saat bermain dengan Yura, sepupuku. Mungkin dia merasa bersalah sekarang. Kecelakaan itu murni kelalaianku," tuturku menyesal, "apakah aku bisa menyampaikan padanya agar jangan bersedih?"

"Sekarang sudah terlambat. Kita sedang dalam perjalanan menuju penghakiman." Finn bangkit meraih waterskin dan mengisinya dengan air kolam di depan kami.

"Ayo, pergi. Waktu kita tak banyak," ujarnya sambil melepas ikatan tali kudanya. "Kita jalan kaki saja sekarang, agar kudaku tidak terlalu lelah."

Bersambung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun