"Kimi... Bagaimana dengan Kimichi?" tanya Hiroko mulai kepayahan.
Gadis di sampingnya mengerutkan bibirnya. "Anak Teknik Mesin itu? Dia juga sudah kuperingatkan, tapi tidak peduli. Lalu kutabrak dia sewaktu menyeberang. Polisi masih mencari pelaku tabrak lari itu," ujarnya sambil tersenyum kecil.
"Aku pintar, Hiro. Kamu ingat dengan Fenti, anak MIPA dua tahun lalu? Dia berani mendekatimu terang-terangan." Megumi tampak merenung. "Aku benci padanya. Sudah kukatakan untuk menjauh, tapi tidak digubrisnya. Aku membenamkannya di danau saat kami berkemah. Dia pecinta alam yang payah."
Hiroko bergidik. "Kamu gila, Meg!" serunya nyaris tersedak.
Megumi menggeleng. "Aku cuma tergila-gila padamu, Hiroko. Cuma kamu yang peduli padaku, bahkan papa dan mama tidak pernah menganggapku ada. Hanya kamu yang menyayangiku. Aku ingin bersamamu. Selalu. Hidup dan mati kita tak akan terpisahkan."
Hiroko bergeming. Lidahnya terasa kelu dan seluruh tubuhnya seakan terbakar.
"Aku tahu kamu tidak mencintaiku, Hiro. Namun, aku sangat mencintaimu, dan itu sudah cukup untuk kita."
"Apa... Apa yang kau berikan? Dadaku terasa payah," desis pria itu meraba dadanya. Lehernya terasa tercekik. Napasnya semakin berat.
"Aku meracuni anggur kita. Tenanglah, Sayang, aku akan menemanimu," kata gadis itu menggenggam jemari Hiroko erat dan meraih gelas anggur. Dengan penuh tekad, diteguknya cairan merah itu hingga habis. Dipeluknya pria yang dicintainya itu erat, lalu perlahan mereka menghembuskan napas terakhir. Senyum puas terbentuk di bibir merah gadis itu.
Kotabaru, 10 Oktober 2022
Catatan: Â Memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa.