Mohon tunggu...
Ronny Mailindra
Ronny Mailindra Mohon Tunggu... Insinyur - Penulis

Penulis thriller, fantasi, dan silat. Bekerja sebagai programmer Blog: http://mailindra.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Horor Ala-ala Hoax

9 September 2019   21:44 Diperbarui: 9 September 2019   21:48 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: Design by Ronny Mailindra using canva.com

Sebenarnya aku tidak ingin menceritakan hal ini. Tapi semakin lama aku menahannya, semakin nyata cerita ini. Terutama saat aku membaca cerita-cerita viral.

Aku tidak begitu ingat dimana mendengarkannya. Mungkin saja aku baca atau tonton di suatu tempat. Tapi di pikiranku cerita ini sangat nyata.

Dan cerita inilah yang akan aku ceritakan kepada kalian sekarang. Begini ceritanya:

Cerita ini milik seorang teman. Sebut saja namanya Bima. Bima suka menulis cerita horor, namun sampai sekarang belum satu pun novelnya terbit. Sudah banyak surat penolakan yang dia terima. Tentu bisa dimaklumi kalau Bima agak frustrasi. Bima pun mulai meragukan bakat menulisnya.

Entah dapat wangsit darimana, suatu hari Bima teringat temannya. Sebut saja namanya S (Bima tidak ingin membuka identitas temannya, jadi kita hormati saja jika cerita ini memakai inisial sebagai nama tokoh). 

S sudah menerbitkan beberapa novel. Membaca karya-karya S, Bima yakin cerita horor miliknya lebih bagus daripada milik S. Malah ada beberapa karya S yang sebenarnya ide dan potongan adegannya berasal dari Bima. Bima mau tahu rahasia sukses S.

Setelah beberapa kali membuat janji, pada suatu Kamis sore, mereka pun bertemu di sebuah kafe kecil. Kafe itu mampu menampung sekitar sepuluh orang. Cuma ada lima orang di sana, termasuk Bima dan S. Saat bertemu, setelah berbasa-basi, Bima pun meminta saran agar novelnya bisa diterbitkan.

Awalnya S memberikan tips-tips umum agar novel bisa diterima penerbit, tapi Bima sudah mencoba semua.

"Gue dah coba semua itu. Ngga satu pun yang jalan. Ayolah, kasi tahu rahasia lo. "

Itu cuma spekulasi saja. Bima ngga tahu apa benar S punya resep rahasia. Tapi tak ada ruginya mencoba.

Setelah tampak agak ragu-ragu, S pun berkata, "Sudah coba buat novel lo jadi viral di twitter?"

Sejenak Bima berpikir S ini gila atau apa. Untuk bisa menembus penerbit saja susah. Sekarang malah kasi saran untuk buat novel viral di twitter.

Tapi Bima tidak mendebat. Pengalaman mengajarkannya untuk lebih banyak mendengar, terutama setelah melemparkan pertanyaan. Bima juga penasaran apakah S paham hal yang dia sarankan.

"Gimana caranya?" tanya Bima.

S lalu menceritakan bagaimana dia membuat cerita horornya menjadi viral.

"Biar bisa viral, lo harus bisa menceritakan sesuatu yang heboh. Heboh maksud gue sesuatu yang kayanya mustahil tapi banyak orang pernah mengalaminya."

"Cerita horor punya peluang besar buat viral kalo lo bisa meyakinkan bahwa cerita lo nyata. "

Bima menatap serius, mencoba mengerti penjelasan temannya. Twitter, viral, apa hubungannya dengan fiksi horor dan meyakinkan orang-orang?

"Seperti kata komika Malaysia, Iskandeer, orang asia itu cuma dua jenis. Pertama dia pernah lihat hantu. Jenis kedua, punya kenalan yang pernah lihat hantu."

Bima dan S tertawa. Mereka memang pernah melihat video komika Malaysia itu. Pernah viral juga lawakan itu.

"Nah, di Indonesia lebih gampang lagi," kata S, "Cerita heboh yang dilindungi pakai logika dan alasan mistis dan klenik, kalo lo sebar ala-ala hoax, langsung viral deh."

"Ala-ala hoax gimana?" sambar Bima.

S berhenti sebentar lalu minum kopinya. Sepertinya S menikmati penasaran yang memancar di wajah Bima. Tapi mungkin juga S sedang menyusun alasan yang akan dia berikan kepada Bima. Karena, kalian tahu, Hoax punya makna yang negatif.

"Ya ala hoax," kata S, "menurut lo gimana cara hoax bisa diyakini orang? Coba ingat jaman pilpres kemarin."

"Lo cerita bahwa lo mendengar kabar yang diceritakan orang lain dan kabar itu berasal dari orang lain lagi yang ia dengarkan dari orang lain lagi. Begitu seterusnya. Kalo ada gambar editan, lebih mantap lagi."

"Lo nyuruh gue nyebarin hoax?" tanya Bima setengah tidak percaya.

Bima ingin membuat novelnya dilirik penerbit. Ia tidak tertarik untuk bikin masalah, apalagi bikin orang lain susah.

"Ya, enggak. Makanya gue bilang "ala-ala hoax".

"Ala-ala gimana maksudnya?"

"Kita kan penulis fiksi, Bim. Yang kita ceritakan benar-benar fiksi, karangan my man ..." kata S.

"Iya, trus ... " potong Bima tidak sabar.

"Nah, cerita lo butuh jalan masuk ke pikiran dan hati pembaca. Dan 'ala-ala hoax' adalah jalannya!"

"Kalau orang percaya bahwa cerita lo itu nyata, dan mereka penasaran, mereka akan sebarkan cerita lo. Seperti hoax. Kalau beruntung cerita lo akan diyakini sama banyak orang," kata S.

"Dan sim salabim tawaran dari penerbit pun berdatangan! "

Bima terdiam. Ragu. Tidak percaya. Tapi juga agak ngeri. Masa sih dia harus buat hoax, meskipun 'ala-ala'. Entah apa pula arti ala-ala.

"Gue punya satu cerita yang sedang gue goreng di twitter," kata S.

S lalu membuka aplikasi twitternya dan menunjukkan cerita terbarunya yang sedang viral.

"Bukan akun lo? " tanya Bima.

"Ah ya gue lupa bilang, " kata S, "sembunyikan identitas. 'Kepo' orang-orang di sosmed akan buat bukan cuma cerita tapi diri lo jadi viral. "

S pakai akun anonim dan Bima melihat cerita S sudah diincar oleh sebuah penerbit. Bahkan sudah banyak yang menyarankan untuk membuatkan film.

"Oh, cerita tentang sekelompok mahasiswa di desa ini punya lo?" kata Bima. Takjub.

"Eh, tapi bukannya di sini tertulis kisah nyata?"

"Ya, ngga nyata-nyata amat. Fiksi mana ada yang seratus persen nyata. Tapi kan ada bagian dari cerita yang mirip dengan cerita nyata," kata S.

"Man, orang-orang nyariin informasi tentang universitas dan kampung dalam cerita itu kaya detektif," kata Bima.

"Makanya, lo perlu menyamarkan tempat dan karakter. Buat orang-orang menebak."

"Ini udah kaya hoax!!!" kata Bima

"Cuma ALA-ALA, Bim."

"Dan kenapa juga tokoh Bima yang MESUM dan MATI!"

"Sorry... Gue pikir memang cocok sih!"

"Sialan," kata Bima.

Mereka tertawa bersama-sama. Lalu terdiam. Diam yang sedikit tidak mengenakkan.

Dari wajah S, Bima melihat, meski cerita itu viral dan S mendapatkan tawaran penerbit, S tidak tampak gembira. Bima cuma bisa menebak-nebak pikiran S.

Apakah S menyesal membuat orang-orang bingung? Apakah hati nurani S berontak dengan mencampurkan fakta dan fiksi? Apakah S bahagia mendapatkan popularitas dari menyebarkan "ALA-ALA HOAX"?

Kawan-kawan, Aku juga tidak tahu apa yang dirasakan oleh Bima, apalagi S. Sampai sekarang Bima tidak mengikuti saran S. Mungkin Bima merasa setengah membohongi---dengan mengatakan fiksi yang terinspirasi cerita nyata---adalah seratus persen bohong.

Cerita tentang Bima ini terus berputar di kepalaku. Harusnya malam ini aku beristirahat. Aku sudah menjauhkan ponsel dan komputer dan cuma ingin menikmati malam minggu.

Usaha yang sia-sia. Bima, S, dan cerita horor ala-ala hoax ini terus mengganggu dan berputar di kepalaku.

Akhirnya aku menyerah, membuka komputer, dan mulai menuliskan cerita ini.

Entah apa yang terjadi setelah cerita gue ini tersebar.

Cerita ini pun mungkin termasuk "Hoax ala-ala".

Entahlah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun