Dan ada lagi orang yang benar-benar meresapi hasil penginderaannya sebelum dia meneruskannya ke akal. Sebab dia tahu fungsi kerja akal dan perasaan yang berbeda satu sama lain tidak bisa diabaikan perannya, mereka saling melengkapi. Hasil ransangan dari indera akan diresapinya, ini sesuatu hal yang baik atau buruk? , menyenangkan atau menyusahkan? Terus hati menimbang-nimbang, hingga dia mencapai suatu kesimpulan yang kemudian kesimpulan itu diteruskan ke akal. Akal tidak menerima begitu saja laporan dari hati, dia juga ingin tahu bagaimana bentuk asli ransangan ini dari indera. Hingga akalpun akan membandingkan hasil laporan dari hati dengan yang dari indera.Â
Sampai akal memutuskan memang warna kuning api kompor tidak sama dengan warna kuning dari sinar matahari, karena  meski saat meletakkan tangan di kompor akan terasa panas, dilihat ke termometernya menunjukkan 100 derajat celsius. Sedangkan jika warna kuning sinar matahari di luar rumah,  memang terasa panas juga, dilihat ke termometer hanya 35 derajat Celsius. Ternyata berbeda. Jika di lihat lagi, tentu suhu matahari di pusatnya jauh lebih besar, mengingat jarak bumi dan matahari yang sangat jauh. Jadi ternyata kesimpulan akal salah saat hanya mempercayai laporan indera. Oleh karena itu akal sangat perlu mengikut sertakan perasaan untuk mengambil keputusan yang sempurna.Â
Jika orang sudah bisa mengambil keputusan secara sempurna, maka ia telah menjadi manusia yang seutuhnya dan paripurna, memadukan akal dan perasaan yang berwujud logika yang berkeadilan dengan adab penuh kearifan.Â
Jadi sangat tepat sekali bagaimana pendahulu kita berkeinginan agar manusia Indonesia itu adalah menjadi manusia-manusia yang utuh dengan menuangkannya dalam dasar negara Pancasila, sila kedua, "Kemanusiaan Yang Adil (berlogika) dan Beradab (Berperasaan).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H