Mohon tunggu...
Maik Zambeck
Maik Zambeck Mohon Tunggu... Ahli Gizi - corat coret

semoga menjadi orang yang sadar sesadar-sadarnya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Adab, Jembatan antara Penginderaan dan Akal

14 November 2020   14:16 Diperbarui: 14 November 2020   17:29 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagaimana kita telah ketahui, perpindahan ilmu itu dimulai dari penginderaan  diteruskan, dirasakan oleh hati lalu ditelaah oleh akal. 

Adakalanya orang hanya merespon penginderaan itu cukup sampai di hati saja, lalu ia sudah memberi tanggapan dari ransangan yang diterima. Pada dasarnya cara seperti ini tidak sempurna untuk proses pengambilan keputusan karena memberi tanggapan ke luar diri terlalu dini,  tidak mengikut sertakan fungsi akal pemilah secara logika. Umumnya cara pengambil keputusan seperti ini terjadi pada kaum wanita dan anak balita. 

Pada balita hal ini sangat dimaklumi, karena fungsi kerja akalnya belum  terbentuk secara sempurna. Balita cepat bereaksi jika dia merasakan sesuatu yang tidak beres, lapar, kencing, jengkel, senang.  Reaksi yang dilakukannya tanpa mengikut sertakan akal untuk berlogika. 

Sedang pada wanita, memang beitu lah kodratnya, ia akan mudah mengambil keputusan jika persaaannya sudah senang  tidak peduli apapun yang terjadi setelah keputusan itu di ambil.  

Begitu dirayu-rayu kekasihnya, dia akan menyetujui apapun ajakannya. Saat melihat berlian, emas, di pusat perbelanjaan dia segera merengek untuk  dbelikan . Jika tidak , dia akan merajuk. Itulah tabiat dasar perempuan, mengambil keputusan cukup mengikutsertakan perasaannya saja. Tapi orang bijak bilang, itu baik dan wajar.  

Tidak dipungkiri hal ini terjadi juga pada sebagian kaum laki-laki yang memang telah mengenyampingkan fungsi akalnya. Seperti saat dia mabuk, atau dalam tekanan. Akalnya akan tidak berfungsi dengan baik. 

Betapa fungsi adab sangat berharga. Bagaimana ia dengan keluhuran budi, sopan santun, penyanjung, kerendahan hati dan tidak sombong, membuat orang dalam proses pengambilan keputusan  cukup terhenti sampai di hati saja tidak berlanjut ke akal. Yang berarti penyederhanaan proses pengambilan keputusan. 

Hal-hal seperti ini banyak dimanfaatkan oleh mereka yang berprofesi sebagai marketing. Mereka memanfaatkan kelemahan hati orang lain untuk mengambil keuntungan. Pada prinsipnya ini tidak jelek, namun jika digunakan secara berlebihan bisa membuat orang lain itu buta hingga menyerahkan seluruh hidupnya ke marketing tersebut karena sudah tertipu. 

Ada lagi, orang dalam proses pengambilan keputusannya, dari penginderaan meloncat langsung ke akal, tanpa merasakannya dulu di hati apa yang telah ia terima dari indera. Dia beranggapan semuanya bisa diselesaikan dengan berlogika. Karena menurutnya logika lebih dapat menghasilkan keputusan dengan  pasti dan dapat dipertanggung jawabkan.

Manurut mereka, sekali penginderaan menyampaikan satu hasil  pengamatan rangsangan ke akal, mereka yakin di masa yang lain jika pengulangan itu terjadi lagi, maka hasilnya akan tetap sama. Maka mulailah semua hasil pengamatan itu dikumpulkan agar mereka dapat di suatu saat nanti menentukan hasil keputusannya dengan mudah. Tapi sayangnya, orang-orang seperti ini tidak menyadari sesungguhnya mereka juga sedang tertipu oleh penginderaan dan akalnya. 

Karena tidak semua kejadian berulang itu menghasilkan suatu hasil yang sama di masa depan. Bagaimanapun setiap kejadian itu sebenarnya adalah unik, akan berbeda hasil kejadian satu dengan yang lain meski  se per sekian detik atau se per takaran-takaran yang lainnya. Tapi para pemuja logika itu dengan dada yang membusung akan berkata api kompor yang kuning itu sama dengan sinar matahari yang kuning. Padahal kalau diteliti lagi tidaklah sama karena yang satu suhunya 100 derajat celsius, yang satunya lagi bisa jutaan derajat celcius. Atau mengatakan laki-laki sama hak dan kewajibannya dengan perempuan, ya pasti tidak sama, yang satu bisa melahirkan yang satu lagi tidak. Begitulah pemuja logika terus tertipu dengan kesimpulan-kesimpulannya. 

Dan ada lagi orang yang benar-benar meresapi hasil penginderaannya sebelum dia meneruskannya ke akal. Sebab dia tahu fungsi kerja akal dan perasaan yang berbeda satu sama lain tidak bisa diabaikan perannya, mereka saling melengkapi. Hasil ransangan dari indera akan diresapinya, ini sesuatu hal yang baik atau buruk? , menyenangkan atau menyusahkan? Terus hati menimbang-nimbang, hingga dia mencapai suatu kesimpulan yang kemudian kesimpulan itu diteruskan ke akal. Akal tidak menerima begitu saja laporan dari hati, dia juga ingin tahu bagaimana bentuk asli ransangan ini dari indera. Hingga akalpun akan membandingkan hasil laporan dari hati dengan yang dari indera. 

Sampai akal memutuskan memang warna kuning api kompor tidak sama dengan warna kuning dari sinar matahari, karena  meski saat meletakkan tangan di kompor akan terasa panas, dilihat ke termometernya menunjukkan 100 derajat celsius. Sedangkan jika  warna kuning  sinar matahari di luar rumah,  memang terasa panas juga, dilihat ke termometer hanya 35 derajat Celsius. Ternyata berbeda. Jika di lihat lagi, tentu suhu matahari di pusatnya jauh lebih besar, mengingat jarak bumi dan matahari yang sangat jauh. Jadi ternyata kesimpulan akal salah saat hanya mempercayai laporan indera. Oleh karena itu akal sangat perlu mengikut sertakan perasaan untuk mengambil keputusan yang sempurna. 

Jika orang sudah bisa mengambil keputusan secara sempurna, maka ia telah menjadi manusia yang seutuhnya dan paripurna, memadukan akal dan perasaan yang berwujud logika yang berkeadilan dengan adab penuh kearifan. 

Jadi sangat tepat sekali bagaimana pendahulu kita berkeinginan agar manusia Indonesia itu adalah menjadi manusia-manusia yang utuh dengan menuangkannya dalam dasar negara Pancasila, sila kedua, "Kemanusiaan Yang Adil (berlogika) dan Beradab (Berperasaan). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun