Bahkan yang lebih menohoknya, lembaga survei juga akan menyandingkan tokoh politik dengan yang lain, kemudian dilakukan proses pengukuran tentang populer dan elektabilitasnya tokoh politik itu di tengah masyarakat, apa yang dilakukan bisa saja baik jika narasi yang dibangun juga baik. Tetapi kebanyakan narasi di media massa lebih menjuru ke narasi yang tidak sehat dan kadang tidak dapat diterima akal sehat.
Lembaga survei idealnya menyediakan jasa riset atas pengukuran atau data yang ia temukan di lapangan untuk mencerahkan publik, sekalipun bagi partai politik maka lembaga survei bertujuan untuk memudahkan mereka dalam menentukan calonnya dari tokoh pollitik yang ada terhadap elektabilitas dan tingkat popularitasnya. Artinya hasil survei datanya sebagai referensi oleh partai politik, bila lembaga survei itu di danai oleh suatu partai atau tokoh tertentu.Â
Jadi, bila pihak yang berkepentingan dengan lembaga survei adalah partai politik atau dianya tokoh politik, maka hasilnya cukup datanya untuk partai politik dan tokoh politik yang bersangkutan saja idelanya.Â
Begitu semestinya, bukan malah diliput atau disebar luaskan lewat media massa yang berfungsi malah menggiring opini publik. Penulis selaku mahasiswa yang gemar membaca di media digital melihat hal tersebut menjadi sebuah keresahan sehingga memancing hati penulis untuk menuliskannya.Â
Bila lembaga survei yang melakukan riset hanya ingin mendongkrak popularitas tokoh politik tertentu, lalu kemudian narasinya hanya menjatuhkan tokoh politik yang lain, maka idealnya lembaga survei tersebut telah mencederai etika politik dan etika pers.
Contoh tulisan yang penulis temukan di media digital seperti hasil riset lembaga survei untuk calon kandidat presiden yang telah dirilis yang judulnya, "Elektabilitas Capres 2024, Anies Baswedan Teratas". Atau survei yang mengatakan "Anies-Andika Perkasa Dominan". Dan ada lagi, "Survei Indikator: Elektabilitas Ganjar di Atas Prabowo dan Anies". Dari tulisan yang dimuat pada media digital ini jelas bahwa hasil riset dari lembaga-lembaga survei ini mengarah kepada pendobrak popularitas dan elektabilitas tokoh politik tertentu, dan menjatuhkan tokoh politik lain. Apalagi pada pengukuran lembaga survei tidak dijelaskan respodennya siapa, metodologinya bagaimana, dan dananya riset dari siapa, jarang lembaga survei mau mepubliskan hal itu.
Idealnya Lembaga Survei
Lembaga survei idealnya kerjaannya mencerahkan rakyat, atau pun jika dimodalkan oleh tokoh politik atau partai politik maka hasilnya untuk referensi oleh yang bersangkutan tersebut saja, alias mencerahkan partai politik atau si pemodal. Akan tetapi, kenyataannya yang terlihat hari ini hasil riset lembaga survei hanya berfungsi untuk menggiring opini publik atau berusaha mendulang kepopularitasan tokoh politik tertentu saja (menyesatkan). jika memang itu yang terjadi hari ini maka perbuatan lembaga-lembaga survei bisa dikatakan sebagai bentuk dari kampanye hitam (black campaign) yang jelas mencederai demokrasi.
Lembaga survei yang mengukur sesuatu yang berbau politik, mesti dipertanyakan keabsahan atau validitas, reliabilitas dan metodologinya, sebab hasil risetnya sudah sering terjadi malahan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan. Contohnya beberapa kejadian perbedaan hasil riset lembaga survei di Pilkada DKI Jakarta 2017.Â
Lembaga survei memprediksi elektabilitas pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat di atas Anies Baswedan-Sandiaga Uno dengan angka 47,3 persen berbanding 44,8 persen. Kesalahan yang lebih fatal seperti yang terjadi di Pilkada Jawa Barat 2018, hampir seluruh lembaga survei meleset jauh dalam memprediksi elektabilitas pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu. Belum lagi pada pilpres 2014, ada empat lembaga survei yang dalam hitungan cepatnya saat itu memenangkan Prabowo subianto-Hatta rajasa, padahal kenyataan yang menang adalah Joko Widodo-Jusuf Kalla (Hamdi Muluk).
Kesalahan hasil riset lembaga survei tentang elektabilitas tokoh politik ini menjadi sebuah pertanyaan publik, tentang asal dan metodologinya. Apakah riset yang dilakukan metodologinya hanya untuk menggiring opini publik dan mendobrak popularitas tokoh politik agar elektabilitasnya meningkat, atau apakah hasil riset lembaga survei sebagai bentuk black campaign.Â