Mohon tunggu...
Mahyu Annafi
Mahyu Annafi Mohon Tunggu... Lainnya - Guru Ngaji

Hamba yang sedang belajar menulis, suka membaca dan menelaah berbagai pemikiran. Saya condong menulis ke dunia pendidikan, mental, politik dan isu sosial. Angkatan ke 38 di Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) di Serang.

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Melihat Guru Gembul Lebih Jernih

31 Januari 2025   22:46 Diperbarui: 31 Januari 2025   23:19 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sumber: chanel Guru Gembul

Beberapa hari lalu, penulis sempat adu argumen dengan teman-teman di grup literasi, perihal Guru Gembul (singkat GG). Penulis katakan, setiap orang berhak bicara apa saja, tapi ingat harus punya batas, apalagi tema keagamaan. Tapi GG kok terkesan over, seolah yang tahu banyak hal. Teman menyanggah, lah kan dia konten kreator, yang lain bilang, apa tidak boleh kita lebih pintar dari tokoh agama.

Masalahnya bukan dipintar atau tidak pintar, tapi batas. Sepintar-pintarnya kita bicara soal medis, tetap saja harus punya rujukan ke pakarnya. Tak boleh bicara semaunya tanpa menghargai para ahli di bidang itu. 

Kamu mungkin tahulah, siapa itu GG dan bagaimana sepakterjangnya di kancah beberapa tahun ke belakang. Ia menjadi perhatian karena keberaniannya, kecerdasaannya juga hal lain di baliknya. Ia menjadi alternatif bagi yang sebagian kita yang jenuh sama  aktivitas YouTube berisi konten melulu arahnya ke seksual, komedi atau mistis berbau agama.

Apalagi suara GG cukup vokal terkait "tuduhan" kepada kalangan ba'lawi yang menjadikan kuburan keramat menjadi bisnis yang menjanjikan. Terbukti banyak kuburan palsu tanpa jelas sejarahnya. Ia pun beberapa kali mengkritik Bahar bin Smith yang katanya kurang menampilkan akhlak seorang dzuriyah nabi.

Apalagi dengan hadirnya Polemik Nasab yang digemborkan Kiai Imad asal Kresek, Tangerang Banten. Suara GG makin moncer, karena baginya memang taka da yang salah dengan tesis itu. Apalagi ia juga punya hitung-hitungan tersendiri terkait pohon nasab yang "disakralkan" oleh kalangan ba'lawi, bahwa itu, janggal.

Sampai harus mantu Habib Rizieq dibuat gemas, sejak kapan ada ahli nasab tanpa pengetahuan yang cukup soal nasab berbicara sebegitu beraninya. GG tentu saja tidak peduli, ia konten creator dan termasuk bagian masyarakat yang resah dengan kelakuan sebagian Habib yang kurang bertatakrama baik dalam sikap, ucapan dan tindakan.

Katakan selama ini mereka mendapat privilege sebagai trah suci---yang seharusnya "tahu diri" bukan malah "lupa diri". Ini kemudian yang GG kritik, apalagi di media sosial banyak terlihat bagaimana konten ceramahnya banyak menampilkan "hal blunder". Seharusnya sebagai penyambung lidah dakwah harus memberi teladan, terutama akhlak karimah.

Hal itu lebih jelas GG katakan dan sampaikan di Markas Rabitah Alawiyah. Kehadirannya tentu saja patut kita apresiasi, karena ia, tidak hanya vokal di media saja tetapi berani unjuk gigi di markasnya, walau pun dengan bahan yang bisa dikatakan ala kadar. Itu jauh lebih baik daripada Kiai Imad yang tak hadir, yang sering terjadi, dua arus pro-kontra sulit duduk bersama di majlis debat umum

Di sini hal yang perlu kita pelajari ternyata kurang GG jeli menempatkan dirinya sebagai tokoh. Hal itu lebih jelas terlihat saat berdebat dengan Ustaz Nurudin perihal mungkinkah Aqidah Islam bisa di ilmiahkan. Sebagai pembicara utama sepantasnya dengan rentan waktu tersedia punya persiapan lebih, tapi ia berbicara ala kadar tak ubahnya tengah orasi. Akhirnya GG pun dirujak habis-habisan oleh ustaz muda jebolan Al-Azhar itu.

Di chanel pribadinya, menyampaikan alasan kenapa ia "kurang serius" hadir di seminar terbuka tersebut. Dipikirnya, itu hanya bakal diajak ngobrol biasa di podcas, bukan di tempat semi serius. GG pun mengakui kalau harus mengaku Ustaz Nurudin unggul di sana. Di kesempatan lain mengakui di seminar itu cukup tertekan dengan masa yang hadir. Entahlah, seperti apa benarnya.

Kalau meminjam istilah Gus Dur di kumpulan esai-nya Tuhan Tak Perlu Dibela, mengomentari pikirannya Ahmad Wahib yang kontroversial. Sampaikan ada yang mengatasnamakan Ahmad Wahib sudah murtad. Gus Dur justeru berpandangan itu alternatif pikiran yang bagus.

Kalau dalam konteks GG, ia punya alternative pikiran-pikiran yang tak selayaknya dibungkam. Kita boleh tidak setuju dengan argumennya, yang kadang---meminjam istilah Ustaz Nurudin---asbun. Tapi itu suara di lapangan yang greget dengan fenomena sosial.

Kenapa kok disebut begitu? Sebagai "pengkaji fenomena" sosial seharusnya GG tahu segala bidang ada pakarnya tersendiri. Kepakaran itu hasil dari proses ia mengakaji mendalam apa yang menjadi bidang keilmuannya. Ia kerap kali berbicara wilayah agama mengenai banyak hal.

Apa itu salah? Tidak salah, cuma harus sadar diri. Pasca debat itu seminar ia sering dibuat baper terkait hal yang kurang menyenangkan selama debat, utamanya yang hadir. Padahal, harusnya sadar, komentarnya selama ini yang memicu pro-kontra.

Alhasil ketika tokoh agama yang berang maka tak harus kaget. Apa yang diyakininya baik belum tentu dipandangan orang juga kan? Maka, silahkan berbicara soal wawasan keislamannya, tetapi harus sadar dengan kapasitasnya.

Kalau memang tidak perlu paham, alangkah baiknya datang mengkonfirmasi ke pakarnya agar tidak terjadi salah paham. Misalnya, ia pernah mengoreksi kitab Ar-risalah-nya Imam Syafie, katanya sekedar kumpulan fatwa yang kemudian dijadikan dasar pegangan bermadzhab. Seolah-olah ia lebih paham dengan kitab itu, padahal membacanya bukan dari sumber primer tapi terjemah. Kaum santri saja agak hati-hati soal itu, lah GG kok begitu berani?

Oleh sebabnya, tentu saja di balik itu suara GG adalah representatif bagi kaumnya. Betapa kualitas pendidikan kita belum juga maju dan berbenah adalah karena gaji gurunya yang masih rendah, belum lagi banyak "oknum-oknum" yang masih mengahantui di dalamnya.

Tapi, menarik kayaknya, kalau GG tidak hanya mengomentari "gaji guru sekolah" saja tetapi ikut pula mengomentari "gaji guru ngaji" yang tidak jelas berapa nominalnya dan seperti apa teknisnya. Itu kan wilayah Pendidikan pun juga agama, yang sering dikomentarinya.

Mungkin saja, di balik oknum beragama yang terlihat itu "tidak sedikit" berebut ladang karena kalau mengandalkan gaji, gaji dari mana. Ada memang insentif, itu pun dengan ditutup sepenggal kata: karena Allah bae nya. Mungkin nasib guru ngaji akan lebih baik lagi, tentu bisa meluruskan fenomena yang kerap terjadi itu. Gimana menurut anda?  (**)

Pandeglang, 31 Januari 2025  21.57

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun