Kalau meminjam istilah Gus Dur di kumpulan esai-nya Tuhan Tak Perlu Dibela, mengomentari pikirannya Ahmad Wahib yang kontroversial. Sampaikan ada yang mengatasnamakan Ahmad Wahib sudah murtad. Gus Dur justeru berpandangan itu alternatif pikiran yang bagus.
Kalau dalam konteks GG, ia punya alternative pikiran-pikiran yang tak selayaknya dibungkam. Kita boleh tidak setuju dengan argumennya, yang kadang---meminjam istilah Ustaz Nurudin---asbun. Tapi itu suara di lapangan yang greget dengan fenomena sosial.
Kenapa kok disebut begitu? Sebagai "pengkaji fenomena" sosial seharusnya GG tahu segala bidang ada pakarnya tersendiri. Kepakaran itu hasil dari proses ia mengakaji mendalam apa yang menjadi bidang keilmuannya. Ia kerap kali berbicara wilayah agama mengenai banyak hal.
Apa itu salah? Tidak salah, cuma harus sadar diri. Pasca debat itu seminar ia sering dibuat baper terkait hal yang kurang menyenangkan selama debat, utamanya yang hadir. Padahal, harusnya sadar, komentarnya selama ini yang memicu pro-kontra.
Alhasil ketika tokoh agama yang berang maka tak harus kaget. Apa yang diyakininya baik belum tentu dipandangan orang juga kan? Maka, silahkan berbicara soal wawasan keislamannya, tetapi harus sadar dengan kapasitasnya.
Kalau memang tidak perlu paham, alangkah baiknya datang mengkonfirmasi ke pakarnya agar tidak terjadi salah paham. Misalnya, ia pernah mengoreksi kitab Ar-risalah-nya Imam Syafie, katanya sekedar kumpulan fatwa yang kemudian dijadikan dasar pegangan bermadzhab. Seolah-olah ia lebih paham dengan kitab itu, padahal membacanya bukan dari sumber primer tapi terjemah. Kaum santri saja agak hati-hati soal itu, lah GG kok begitu berani?
Oleh sebabnya, tentu saja di balik itu suara GG adalah representatif bagi kaumnya. Betapa kualitas pendidikan kita belum juga maju dan berbenah adalah karena gaji gurunya yang masih rendah, belum lagi banyak "oknum-oknum" yang masih mengahantui di dalamnya.
Tapi, menarik kayaknya, kalau GG tidak hanya mengomentari "gaji guru sekolah" saja tetapi ikut pula mengomentari "gaji guru ngaji" yang tidak jelas berapa nominalnya dan seperti apa teknisnya. Itu kan wilayah Pendidikan pun juga agama, yang sering dikomentarinya.
Mungkin saja, di balik oknum beragama yang terlihat itu "tidak sedikit" berebut ladang karena kalau mengandalkan gaji, gaji dari mana. Ada memang insentif, itu pun dengan ditutup sepenggal kata: karena Allah bae nya. Mungkin nasib guru ngaji akan lebih baik lagi, tentu bisa meluruskan fenomena yang kerap terjadi itu. Gimana menurut anda?  (**)
Pandeglang, 31 Januari 2025 Â 21.57
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI