Belanda, Prostitusi, dan Bung Karno
Kang Nursi kebagian perdana bicara me-review buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels karya Pramoedya Ananta Toer. Bercerita proyek pembuatan jalan tol yang menghubungkan berbagai Kawasan di Banten. Singkatnya, di masa itu Belanda punya peradaban.
Kalau mengutip Ibnu Kholdun di kitab Mukodimah-nya, sesuatu bisa disebut peradaban karena punya masyarakat, karya dan tata kelola kebijakan. Entah sih, apa ini relevan atau engga.
Sebab, kalau kita baca sejarah banyak rakyat Indonesia (masa itu) yang lebih senang penjajah Belanda daripada Jepang. Kenapa begitu? Karena Belanda lebih memanusiakan rakyat.Â
Buktinya, rakyat jajahannya di beri akses pendidikan, di beri akses menjadi anggota DPR (istilah sekarang), dan boleh mendirikian organisasi. Ini menjadi cikal bakal kebangkitan bangsa. Rajin membangun juga sampai kini masih eksis. Produk KUHP itu dari mana coba.
Selain itu, di buku Penyambung Lidah Rakyat-nya, Bung Karno bercerita pernah terjadi kasus pemerkosaan cukup tinggi di Padang yang dilakukan tentara penjajah. Bung Karno dengan resahnya terbesit gagasan, bagaimana me-lokalisir pelacuran di sana.
Gagasan ini disampailkan ke berbagai tokoh agama, hasilnya bisa kita tebak, ditolak. Bung Karno tidak diam saja, terus melakukan diksusi sengit yang akhirnya tokoh agama itu setuju dengan syarat-syarat pastinya. Hal itu demi masalahat dan meminimalisir bunga desa jadi pelampiasaan berahi kaum haus tersebut.
Disampaikan pada pemerintah lokal dan mereka setuju dengan gagasan Bung Karno tersebut. Kang Miftah juga mengatakan, sekali pun pelacur adalah pekerjaan terkutuk tapi sebagai bangsa kita harus berterima kasih karena di masa pra-merdeka pernah dijadikan mata-mata oleh Bung Karno untuk mengorek informasi.Â
Meski pun tentu saja terjadi debat sengit di tubuh PNI waktu itu. Bukan menormalisasi hanya mengemukakkan sejarah saja. Percayalah, nasionalisme lahir di mana saja, termasuk di bilik penuh lendir itu.
Pesantren, Pendidikan Seksual dan Fenomena Kiai Mesum