Setelah berkali-kali absen, saya kembali bertemu dengan teman-teman Pandeglang Book Party, minggu (26/1/25) di alun-alun Pandeglang. Tulisan ini akan coba merangkum beberapa hal yang kami diskusikan.
Tidak semuanya, mungkin hanya yang terlintas saja demi memancing penasaran bagi siapa yang pikirannya mungkin lagi kurang makanan bergizi.
Lagian menulis ini ya, upaya bersuara ke pembaca, Pandeglang masih punya pemuda\i yang sadar literasi. Walau pun jumlahnya tidak segede uang yang diculik Harun Masiku, suaminya Dewi Sandra dan lain sebagainya.Â
Soal Pak Kholid dan Orang di baliknya
Kata pancingan itu dimulai Kang Miftah, founder yang membersamai kami, bahwa fenomena Pak Kholid ini menarik. Kita tentu saja bersyukur sebagai orang Banten, petani atau nelayan-nya saja secerdas begitu.Â
Kelas sosial yang kerapkali dianggap angin lalu, siapa nyana punya retorika setajam itu, sepertinya waktu punya rahasia di baliknya. Apa itu, silahkan tanya pada bambu yang menancap di laut Pantura.
Hal yang luput si empunya proyek mungkin berpikir, apalah nelayan kecil, mana berani mereka speak-up. Tinggal disiram uang pelicin sama sembako ala kadar, aman pokoknya proyek.
Rupanya hitung-hitungan mereka salah, ada nelayan yang berani itulah Pak Kholid. Kami cukup alot membaca fenomena ini, dan hampir sepakat, meski pun beliau mengaku nelayan atau petani biasa, untuk menjadi begitu cukup makan ikan saja, dan untuk bisa public speaking modalnya nekat belaka. Â Sungguh di luar nurul.
Pasti, Ada kisah dan cerita di baliknya. Ada pula andil Pak Said Didu dan orang-orang kritis lainnya. Dan kami berpikir pemerintah dan aparat selama ini gak mungkin sepolos gadis desa tahun 70-an yang tidak tahu make-up dan gaway dan menyebut bahasa inggris itu... bahasa cingcoeng!