Sudah satu tahun lebih proses pengurusan BPJS bapak belum menemukan titik cerah. Entah sampai mana prosesnya. Apa sudah dikerjakan atau hanya tergeletak di ujung map kerja petugas desa kami. Yang pasti, sampai saat ini belum menemukan arah pastinya ke mana.
Memang bagaimana peran keluarga, kok bisa terbengkalai? Sedari awal pihak desa sudah mengambil wewenang itu. Kami dipinta syarat-syarat kelengkapan, diminta menunggu. Ya sudah, menunggu konfirmasi.
Sebenarnya proses di awal berjalan baik sih, semua kelengakapan saya serahkan ke adik saya. Saya fokus mengurusi prosesi acara tahlilan dan lain-lain. Berbagi tugaslah.
Kemudian saat mengurusi surat kematian di dukcapil, KTP bapak jatuh. Jatuh entah di mana. Dicari sebagaimana rute yang ada tak ada. Pihak desa tentu saja gak mau pusing.
Terpaksa saya turun gunung, saya tanya gimana selanjutnya. Disarankan untuk mengurusi surat kehilangan ke Polres sekitar area di tempat kehilangan. Singkatnya, surat kehilangan itu sudah didapatkan.
Selanjutnya di capil saya disuruh "mengidupkan" lagi KTP bapak. Saya sampaikan itu petugas di sana, "Kan, itu sudah ada surat kematian, kenapa harus ada KTP lagi." Saya katakan pihak desa meminta, apa ada kemungkinan dihidupkan untuk keperluan syarat BPJS.
Di sana akhirnya saya diskusi, di sampaikan oleh teller, katanya tidak bisa mereka yang sudah meninggal dihidupkan lagi KTP-nya. Kalau memang sudah hilang, kenapa tidak mengguakan surat kehilangan juga menyertakan surat kematian. Sejauh yang mereka pahami, itu cukup jadi syarat. Intinya, tidak bisa.
Lantas saya sampaikan ke pihak desa, seperti yang bisa ditebak respon mereka dingin. Greget sih iya, tapi gimana, sebagai rakyat yang baik saya terima saja. Saya serahkan semua berkas yang ada. Kami pun menunggu kabarnya seperti apa nantinya.
Sampai waktu berjalan setahun, justeru perangkat desa tak punya i'tikad baik mengkorfirmasi. Kami sekeluarga tentu saja jengkel, apalagi ini bukan pengalaman pertama, dua kali mengurus BPJS pengalaman tak mengenakan hati kerap kami rasakan. Cuma bedanya, yang dulu bisa cair meskipun prosesnya agak lama, sekarang agak ribet karena KTP hilang.
Saking jengkelnya, adik saya yang sekarang menempuh study di jurusan ilmu politik nyambi jadi jurnalis lepas di media online Banten, konfirmasi para seniornya gimana terkait kasus BPJS bapak, ada kemungkinan lolos atau gagal.
Seniornya suruh menegaskan dulu, itu BPJS kesehatan atau ketenagakerjaan. Kalau memang sulit, ambil saja berkasnya nanti bakal dibantu prosesnya agar mudah. Disampaikan dong ini, baik ke kepala desa juga orang yang mengurusnya.
Masih siap dan aman, katanya. Tenang saja. Ditanya, apa ada kemungkinan hangus karena waktu hampir satu tahun, gak bakal katanya. Ya sudah, kami gak bisa berbuat lebih. Lagi menunggu. Lagian emak menegaskan, ikuti mekanisme-nya saja, biarinlah gimana bae, "Gusti Allah mah Maha Tahu," tegasnya.
Dan ini tanggal 16 januari, setahun lebih enam hari bapak wafat kabar tak ada. Tak ada upaya dan inisiatif memberi informasi. Padahal sedari awal kami tegas, kami gak terlalu peduli mau cair atau enggak, terpenting ada informasi terkait proses berjalannya berkas almarhum bapak kami.
Sampai saat ini saya masih heran memikirkannya. Apa kami sebagai rakyat biasa bicara itu salah atau mereka sebagai aparat yang digaji negara tak memahami tugas pokok mereka apa. Entahlah, mungkin pembaca punya saran atau pendapat lain? Wallahu'alam. (***)
Pandeglang, 16 Januari 2025 Â 17.23
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI