Pagi tadi warung kami di buat heboh. Tak lain tak bukan atas ulah tetangga kami, inisialnya Ibu hi yang ngomel-ngomel karena membeli satu bungkus rokok yang katanya tak sesuai harga agen di ujung kampung kami. Emak nampak agak kaget dengan tingkah Ibu itu. Sikapnya yang durja penuh duri. Wajahnya dingin seperti es batu tersiram minyak goreng.
"Berapa harga rokoknya," katanya sengit.
"Sebelas ribu," jawab Emak kalem.
"Hah!!! Masa sebelas ribu, di agen sana harganya sepuluh ribu," timpalnya makin sengit.
"Ya namanya jualan bu, kita mau untung. Lagian di sana kan agen, beda lah sama kita yang harga eceran, orang kita belinya di sana," jawab Emak sambil tersenyum masam.
"Katanya ini agen, harusnya sama lah harganya," Ibu hi masih ngotot.
      Selanjutnya Emak menjelaskan kenapa harga di warung kami agak miring, di sebutkan sebabnya. Kenapa di warung lain agak mahal, mungkin karena belinya eceran. Ibu ha nampak tak terima, masih sengit dan menatap tajam. Aku yang duduk dekat Emak agak kesal mendengarnya, tapi diam dan mendiamkan, biarkan Emak menghadapinya.
      Namun karena ia tak mulai reda terpaksa aku turun tangan. Walau pun sudah adu argument dan dijelaskan, Ibu ha tetap tak menerima. Bayar tetap harga agen, aku yang terlanjur kesal mendatanginya, lantas aku bilang, "sudah dua tahun kami jualan harga tetap segitu!" Sedikit wajahnya berubah, owh, begitu katanya.
      Ada-ada saja ya, pagi-pagi ketemu sama demikian orang. Di pagi lagi, di mana aktivitas di mulai. Bukan apa-apa bisa merusak mood. Gak apa sih, setidaknya kami tahu tak semua orang suka dengan kami. Dan apa yang ia tunjukkan itu bukti kejujuran rasanya, ia memang jengkel. Ya sudah, apa yang dapat kami sesalkan lagi.
Muhasabah
      Setelahnya kami muhasabah tentang kejadian tadi, kenapa terjadi dan apa alasan atau sebabnya. Setelah dipikir-pikir mungkin ini arti istilah semakin tinggi pohon maka semakin kencang angin bertiup. Begipula nasib dan keadaan manusia. Semakin tinggi karir dan kelas sosialnya maka semakin berbeda ia diuji. Untuk itu, bukan seberapa tinggi ujian itu tapi seberapa siap kita mau mempersiapkan mental menghadapinya. Sejatinya, tiap kita akan teruji sesuai kapasitasnya sebagaimana Al-Qur'an katakana begitu.
      Alangkah bahagia siapa yang tetap terjaga, seberapa pun ia dicaci dan dimaki, ia melihatnya bukan pada rupa cacian itu, tetapi pada apa hikmah di baliknya. Pasti ada makna di baliknya untuk digali, bukan sekedar melihat wajah bengis pun mulut pedas Ibu ha.Ibarat di film, demi kesempurnaan film, maka tiap tokoh punya peran masing-masing. Ada yang Cuma figuran, tokoh utama, begipula antagonis-protagonis. Semua berjalan pada scenario sama, dari penulisnya.
      Kita pun di alam dunia sejatinya begitu, Cuma kita saja gak tahu peran kita apa dan bagaimana. Kita hanya sekedar menebak, mungkin ini atau itu. Sejatinya yang paling tahu, bukan kita, tapi Gusti Allah. Allah yang Maha Tahu. Ketika merasa di posisi "orang baik" jangan terlalu tinggi hati karena kita gak tahu hakikat diri kita. Begitu pula ketika di posisi "orang belum baik" tak usah putus asa.
      Terus berbuat baik semampu yang kita bisa, bukan untuk dipuji orang tapi demi tentramnya hati dan demi ridha Allah. Karena kalua demi pujian, mau sampai kapan kita haus ujian. Toh, kita gak tahu, apa pujian itu tulus lahir di sanubari atau hanya basa-basi tanpa isi. (**)
Pandeglang, 5 Januari 2025 Â 23.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H