Menulis itu proses saya tahu dunia. Tahu betapa luas alam raya. Betapa banyak alam pikiran manusia, dan betapa banyak yang belum saya ketahui. Satu lagi, Allah memang Maha Kuasa.
Beberapa hari lalu saya disarankan Kang Encep-- sastrawan muda Banten-- untuk menerbitkan buku. Tulisan saya yang di blog agar dikumpulkan lantas dikemas, diproses dan bumbui agar lebih gurih.
Saya tidak langsung mengiyakan, entah kenapa keinginan untuk menerbitkan buku itu hal yang kurang sreg. Sata belum punya alasan kenapa tulisan saya harus dibukukkan.
Memang siapa saya. Kalau Kang Encep sih, ya maklum. Jebolan komunitas sastra Kubah Budaya Untirta. Tulisannya wara-wiri mampir di media, baik lokal maupun nasional. Sudah banyak penghargaan dan prestasi didapatkannya.
Yang cukup bergengsi ia terpilih sebagai guru penggerak anti korupsi, dan di undang ke Bali. Beliau terpilih dari sekian banyak guru seantero negeri. Dan tentu lain-lainnya.
Ketika  menelurkan karya, bisa kita tebak banyak yang menunggu karyanya. Wajarkan, prestasi ada dan konsisten berkarya pula. Singkatnya, pangsa pasar jelas.
Tapi dipikir-pikir, kenapa saya harus minder. Bukannya tiap orang punya keunggulan dan kelebihan masing-masing. Soal ceruk pemasaran, biarkan buku itu mencari sendiri siapa yang ingin ia harapakan.
Soal kesuksesan pun tiap orang berbeda. Apa yang kita klaim bahagia, biasanya apa yang kita tahu dan rasakan. Betapa pun kita iri kepada kesuksesan orang, maka tak akan ada guna kalau iri itu tidak melecut kita lebih produktif lagi.
Kalau sekedar iri, apa bedanya dengan anak kecil. Lihat temannya punya mainan baru, dia iri. Nanti merengek ke orangtuanya untuk mendapatkan apa yang dimiliki temannya.
Saya pikir dalam dunia dewasa pun kita kadang begitu. Kita ingin "mainan baru" padahal mainan begitu banyak kita miliki (baca: potensi) untuk kita kembangkan. Poinnya, jangan sibuk membandingkan bila tak mapu mengobatinya.
Untuk itu. rencana saya untuk mengumpulkan karya-karya receh yang tersebar di beberapa media, nampaknya cukup menyita waktu. Kalau jam segini biasanya lagi asyik menulis apa yang tadi siang di alami, maka sekarang saya lagi fokus memilah karya mana saja yang layak dipilih.
Karya itu dipilih tentu bukan tanpa alasan, bagaimana pun pangsa karya saya gak jelas; fans gak ada plus modal tekor. Wuih, jadi saya harus menakar, biar gak terbuang percuma.
Bukan, bukan saya ke-pede-an, saya apa tuh penulis amatir yang baru nongol ke permukaan. Bersaing dengan para suhu dan para senior, buat saya ciut, karya receh saya mah pelengkap saja di antara jutaan karya. Sebagai awam, lucu dong peteng-teng sok keren.
Kumpulan tulisan itu bakal saya bukukkan untuk rencana karir serius saya di dunia kepenulisan. Halah, bahasanya serius, emang selama ini gimana? (**)
Pandeglang, 17 November 2024Â 21.50
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H