Saat orasi di markas Rabithah Alawiyah maupun saat debat di UI, Guru Gembul mengatakan umat Islam tertinggal. Kalau yang lain bicara soal teknologi dan selainnya, kita umat Islam masih sibuk memperdebatkan ajaran pokok agama dan cabangnya. Kita tak lagi menguasai peradaban dan bla-bla lainnya.
Singkatnya, beliau skeptis dengan dinamika dunia muslim sekarang. Baginya, muslim harus punya peradaban, syukur mengulang peradaban emas masa lampau yang pernah membanggakan peradaban dunia. Â
Hari ini kita tertinggal, terpuruk, terkonfirmasi, terindikasi, dan tercerabut dari semangat keilmuan ilmiah, pun kesadaran membangun peradaban. Kita lebih suka gontok-gontokan dan kotak-kotakan tapi miskin karya.
Jernih sekali suara beliau, seolah beliau paling tahu Islam dan tahu yang terbaik untuk muslim seperti apa. Padahal hanya asumi, yang bisa relevan kebenarannya maupun tidak. Argumen itu ditinjau dari dua sisi, bisa benar pun rancu.
Kalau kita melihat dari kaca mata pertama, biasanya ujaran kaum pembaharu, mungkin ucapan Guru Gembul banyak benarnya. Karena tanpa merendahkan beliau, suara beliau hanya membeo pada gerakan sebagian umat muslim yang antipati dengan gerakan muslim tradisional. Seperti kita tahu, gerakan muslim tradisional lebih fokus pada ritual-ritual keagamaan.
Sedang pikir mereka, seharusnya harus move on pada gerakan yang lebih kontekstual. Membangun peradaban, sedikitnya memperjuangkan ke arah peradaban para pendahulu. Menjawab tantangan zaman sekarang dengan menciptakan produk, karya dan temuan untuk dunia mengapresiasi itu sebagai manifestasi ajaran Islam.
Sedangkan kalau kita gunakan sudut pandang yang biasanya digunakan kaum muslim tradisional, sebenarnya argumen Guru Gembul itu kufur nikmat. Perdaban apa yang ia maksud sehingga lancang menyebut Islam tertinggal, terpuruk dan ter-ter lainnya itu.
Coba gih kita cek, apa pernah Albert Einstein ketika menemukan teori kuantum-nya sesumbar itu wujud ajaran agamanya. Begitupula Isaac Newton, Franklin, Steve Job sampai si raja teknologi Microsoft itu bilang dasar pemikirannya dari agamanya. Setahu yang saya baca, tak ada.
Padahal rata-rata penemu dan orang besar di abad 17 sampai sekarang rata-rata haluan agamanya Yahudi atau Nasrani. Tak ada juga di beri stempel, ini hasil peradaban Yahudi, misalnya. Di banding sebagaian kalangan muslim yang suka latah dengan label-label, ini dari Islam dan dari tokoh Islam.Â
Mungkin itu pula yang diinginkan Guru Gembul kah?
Tapi penemu populer di dunia itu, rasanya jarang kita dengar, ini karya Darwin yang beragama Yahudi. Ini karya Albert Einstein yang Yahudi. Ini karya Galileo yang Kristen. Baik ilmuwan populer dan pengekornya sepertinya lepas dari itu, yang mereka bicarakan bukan "agama" tapi "kualitas" untuk dunia jua peradabannya. Mereka lebih tertarik pada esensi daripada melabeli.
Maka wajar, kalau kita kaji, rata-rata ilmuan itu Bertuhan tapi tak beragama. Loh, apa maksudnya? Ia mereka percaya adanya Tuhan tapi tak mau ikut agama apapun. Itu masyhur di bahas oleh cendekiawan muslim yang melek peradaban. Bahkan sering jadi diskursus seru di filsafat Ketuhanan. Tak jarang di stempel Ateis!
Itu lah kenapa Greig Barton ketika menulis autobiografinya Gus Dur agak heran dengan gerakaan pembaharu Islam, mereka ingin muslim modernis dan beragama tidak macam-macam, cukup ala Al-Quran-hadits saja. Beragama pun jadi tekstual saja. Ini boleh, ini haram, ini bi'dah dan sejenisnya. Jadinya terlihat monoton.
Tetapi uniknya, mereka yang dituduh muslim tradisional terlihat lebih modernis sesungguhnya. Ketika mereka bicara agama, mereka komplit dengan dalil. Tidak mudah menghakimi ini haram, boleh, dan boleh. Disodorkan dalil dari sarjana muslim dari masa lampau sampai sekarang, mana yang melarang, membolehkan dan bersikap di keduanya. Bahkan terkadang mengutip pernyataan tokoh modern sebagai penguat argumennya. Mereka terbuka saja, biarkan umat memilih.
Kalau sebagian lain agak hati-hati dengan sistem demokrasi dan lainnya, kaum tradisional justeru menjadikan itu "kendaraan" dibandingkan menghindarinya. Apa salahnya mewarnai dengan nilai Islam daripada diisi oleh mereka yang anti Islam, bisa-bisa menjadikan bumerang untuk dakwah Islam. Ambil sisi manfaatnya, buang negatifnya. Selesai.
Hal senada pernah dikatakan Gus Dur juga, kalau ada yang bilang Islam tertinggal mungkin dasarnya karena tak ada negara muslin sekarang yang menerapkan syariat Islam seperi dulu, sehingga peradaban mampu "dibangun" karena ada kekuasaan di tangan. Itu gerakan politik. Kalau itu ya benar, kita mungkin terpuruk.
Tapi tunggu, masa iya hanya melihat satu bidang politik saja. Islam itu agama yang utuh, masa iya antipati dengan peradaban. Muslim sekarang bagian justeru peradaban itu sendiri. Buktinya, universitas Al-Azhar sampai kini masik eksis melahirkan sarjana-sarjana Muslim di dunia. Betapa juta alumninya yang membangkitkan di medan dakwah, ada di kampung sampai masuk ke Eropa dan Barat. Menerima diterima dan berkawan baik di sana. Mampu bersaing dengan universitas lain di dunia, Alhamdulillah.
Di Indonesia sendiri, kita punya banyak pesantren yang berhasil memadukan kurikulum umum dan agama, tak sedikit santrinya terjun di lintas bidang. Setahu saya, Gontor per angkatan memiliki santri kurang lebih 30 ribu. Masa itu dibilang bukan karya.
Sekarang di barat, ada cendekiawan muslim moderat yang diakui kepakarannya. Beliau hidup di sana, mengajar, menulis pun menyuarakan ajaran Islam. Siapa beliau? Prof. Toriq Ramadan, putera dari allahu yarham Syaikh Ramadan El-Bouthy. Cucu Syaikh Al-Banna, pendiri dan pimpinan Ikhwanul Muslimin yang serimg dicap puritan dan radikal itu.
Lihatlah, cucunya di barat diberi panggung. Sederhana alasannya karena beliau gaya dakwahnya berbeda. Poin itu yang membuat dunia welcome. Coba saya tanya, apa itu artinya kita tetap jumud dan tak punya peradaban?
Terus gimana dengan seni dan budaya yang berwarna Islam, barat justeru memuji itu. Buktinya apa? Nasyid. Raihan sebagai sebuag grup musik sering diundang ke berbagai belahan dunia. Padahal isi dan konten lagunya, rata-rata bernunsa Islam. Loh, kok laku, kok diberi panggung. Bang Haji Rhoma, Cak Nun dan lainnya, itu gimana.
Oleh karenanya, kalau ada yang bilang tertinggal dan terpuruk, jangan dulu percaya. Perlu dikaji dari sisi mana. Bagaimana mungkin terpuruk, sekarang Anda salat sekarang bebas, mau mengkaji Islam monggo, mau belajar ke mana saja diperbolehkan.Â
Tak sedikit sarjana Muslim belajar ke Ohio University, Harvard dan lainnya. Jadi pula ilmuwan di sana, masa itu disebut tertinggal. Selebihnya terserah sih, anda mau setuju atau tidak. Saya mah apa tuh, wallahu'alam. (***)
Pandeglang, 5 November 2024 Â Â Â 00.07
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI