Maka wajar, kalau kita kaji, rata-rata ilmuan itu Bertuhan tapi tak beragama. Loh, apa maksudnya? Ia mereka percaya adanya Tuhan tapi tak mau ikut agama apapun. Itu masyhur di bahas oleh cendekiawan muslim yang melek peradaban. Bahkan sering jadi diskursus seru di filsafat Ketuhanan. Tak jarang di stempel Ateis!
Itu lah kenapa Greig Barton ketika menulis autobiografinya Gus Dur agak heran dengan gerakaan pembaharu Islam, mereka ingin muslim modernis dan beragama tidak macam-macam, cukup ala Al-Quran-hadits saja. Beragama pun jadi tekstual saja. Ini boleh, ini haram, ini bi'dah dan sejenisnya. Jadinya terlihat monoton.
Tetapi uniknya, mereka yang dituduh muslim tradisional terlihat lebih modernis sesungguhnya. Ketika mereka bicara agama, mereka komplit dengan dalil. Tidak mudah menghakimi ini haram, boleh, dan boleh. Disodorkan dalil dari sarjana muslim dari masa lampau sampai sekarang, mana yang melarang, membolehkan dan bersikap di keduanya. Bahkan terkadang mengutip pernyataan tokoh modern sebagai penguat argumennya. Mereka terbuka saja, biarkan umat memilih.
Kalau sebagian lain agak hati-hati dengan sistem demokrasi dan lainnya, kaum tradisional justeru menjadikan itu "kendaraan" dibandingkan menghindarinya. Apa salahnya mewarnai dengan nilai Islam daripada diisi oleh mereka yang anti Islam, bisa-bisa menjadikan bumerang untuk dakwah Islam. Ambil sisi manfaatnya, buang negatifnya. Selesai.
Hal senada pernah dikatakan Gus Dur juga, kalau ada yang bilang Islam tertinggal mungkin dasarnya karena tak ada negara muslin sekarang yang menerapkan syariat Islam seperi dulu, sehingga peradaban mampu "dibangun" karena ada kekuasaan di tangan. Itu gerakan politik. Kalau itu ya benar, kita mungkin terpuruk.
Tapi tunggu, masa iya hanya melihat satu bidang politik saja. Islam itu agama yang utuh, masa iya antipati dengan peradaban. Muslim sekarang bagian justeru peradaban itu sendiri. Buktinya, universitas Al-Azhar sampai kini masik eksis melahirkan sarjana-sarjana Muslim di dunia. Betapa juta alumninya yang membangkitkan di medan dakwah, ada di kampung sampai masuk ke Eropa dan Barat. Menerima diterima dan berkawan baik di sana. Mampu bersaing dengan universitas lain di dunia, Alhamdulillah.
Di Indonesia sendiri, kita punya banyak pesantren yang berhasil memadukan kurikulum umum dan agama, tak sedikit santrinya terjun di lintas bidang. Setahu saya, Gontor per angkatan memiliki santri kurang lebih 30 ribu. Masa itu dibilang bukan karya.
Sekarang di barat, ada cendekiawan muslim moderat yang diakui kepakarannya. Beliau hidup di sana, mengajar, menulis pun menyuarakan ajaran Islam. Siapa beliau? Prof. Toriq Ramadan, putera dari allahu yarham Syaikh Ramadan El-Bouthy. Cucu Syaikh Al-Banna, pendiri dan pimpinan Ikhwanul Muslimin yang serimg dicap puritan dan radikal itu.
Lihatlah, cucunya di barat diberi panggung. Sederhana alasannya karena beliau gaya dakwahnya berbeda. Poin itu yang membuat dunia welcome. Coba saya tanya, apa itu artinya kita tetap jumud dan tak punya peradaban?
Terus gimana dengan seni dan budaya yang berwarna Islam, barat justeru memuji itu. Buktinya apa? Nasyid. Raihan sebagai sebuag grup musik sering diundang ke berbagai belahan dunia. Padahal isi dan konten lagunya, rata-rata bernunsa Islam. Loh, kok laku, kok diberi panggung. Bang Haji Rhoma, Cak Nun dan lainnya, itu gimana.
Oleh karenanya, kalau ada yang bilang tertinggal dan terpuruk, jangan dulu percaya. Perlu dikaji dari sisi mana. Bagaimana mungkin terpuruk, sekarang Anda salat sekarang bebas, mau mengkaji Islam monggo, mau belajar ke mana saja diperbolehkan.Â