Kisah nyata, dua anak di Jabar sana tentang dua anak  yang rela tidur di kuburan, menghabiskan waktunya berjuang dari satu rupiah ke rupiah lain. Dari satu mandor ke mandor lain.Â
Ibunya wafat karena kanker, bapaknya kerja di kota lain nun jauh. Rumahnya dijual untuk biaya pengobatan ibunya. Adiknya tak mau sekolah, karena punya prestasi mendapatkan beasiswa sehingga bisa melanjutkan seklolah.
Wanita itu namanya Sopia, gadis mungil dengan rambut yang pendek. Sengaja rambutnya begitu demi bertahan hidup. Agar "disangka" laki-laki dan bisa bekerja sebagai kuli bangunan.
Pekerjaan berat yang biasanya dilakukan kaum Adam, Sopia melakoni demi bertahan hidup. Demi adik tetap kuat, demi keadaan lebih baik. Berat memang, jauh dari bapak, tidak ada ibu dan saudara pun jauh pula. Harus pula tidur di kuburan.
"Kenapa dikuburan? Kenapa tidak mengemis saja?," begitu ditanyakan Om Ded di podcast-nya.
Di Jakarta banyak orang keadaannya tidak lebih baik darinya mengemis demi mencukupi kebutuhan hidup. Gadis itu menjawab, malu. Hem, malu.
Malu pada siapa?Â
Pada diri, keluarga dan orang sekitarnya. Tersentuh saya mendengarnya. Orang semuda itu punya kejujuran, keuletan, keberanian dan semoga seterusnya.
Hari ini kita, menurut pengamat sosial, kita menghadapi krisis mental. Betapa banyak orang yang "potong kompas" demi nasib baik. Tak peduli aturan baik, tak peduli merugikan negara dan tak peduli banyak yang dirugikana karena perilakunya. Misalnya korupsi.
Koruptor itu kalau kita lihat mereka yang punya harta cukup. Rumah mentereng. Karir cemerlang. Keluarga yang nyaris sempurna. Apanya yang kurang.