Mohon tunggu...
Mahyu Annafi
Mahyu Annafi Mohon Tunggu... Lainnya - Guru Ngaji

Hamba yang sedang belajar menulis, suka membaca dan menelaah berbagai pemikiran. Saya condong menulis ke dunia pendidikan, metal dan isu sosial. Angkatan ke 38 di Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) di Serang. Sehari-hari berdagang dan menulis di blog.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Orangtua dan Pasangan, Siapa yang Harus Diutamakan?

19 Juni 2024   00:11 Diperbarui: 19 Juni 2024   00:13 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Saat harus memilih pasangan dan orangtua. (Pixabay.com/kazuma seki)

Sekitar sebulan lalu, saudara sepupu saya di kota pulang. Ia meminta bantuan ke saya agar dicarikan "orang pintar" untuk mengobati anaknya.

Penasaran dong saya, ada apa dengannya anaknya. Setahu saya sedang bahagia dengan suaminya. Penghasilan lumayan, punya rumah dan tinggal cuma berdua karena statusnya mantunya itu yatim paitu karena ibu-bapaknya sudah berpulang lebih dahulu.

Lama-lama ia menceritakanlah bahwa selama ini mantunya itu dari kecil dirawat sama tantenya. Tantenya ini sudah seperti ibunya, mengurus berbagai hal tentangnya sampai sekarang ia memiliki isteri.

Terus masalahnya apa? Masalahnya itu karena tantenya sudah seperti ibunya otomatis serba mengatur sana-sana. Okelah kalau dulu selagi kecil sampai lajang, dimaklumi kalau masih mengatur. Masalahnya sekarang, ponakanya itu sudah punya kewajiban. Ia sudah suami dan nanti bakal jadi bapak untuk anak-anaknya. Makanya, monopoli tak relevan lagi.

Lalu untuk apa datang ke orang pintar? Sederhana, agar mantunya tak bergantung ke tantenya lagi pun tantenya sama agar tidak lagi terlalu ngatur sana-sini soal kehidupan "anak asuhnya", baik soal karir, gaji dan sikapnya.

Mendengar ini saya agak kaget, kaget pasti tidak mudah ada diposisi mantunya. Saya memahami keinginan saudara di kota itu tak 100% salah. Wajar dong, ia berharap anak dan mantunya mandiri. Mandiri dalam bersikap dan mengatur soal kehidupannya.

Baca juga: Sepahit Kopi

Apa jadinya kalau tantenya terus mengungkung ponakannya, di fase di mana ia sudah tak seperti dulu lagi. Kalau terus begiu bukanya tak membuat nyaman isterinya. Benar ia orang baru di hidupnya, tapi ia orang yang mungin selamanya bersama. Ia punya hak dan kewajiban yang harus ditunaikan. Dosa orang yang mengabaikan hak isterinya, sekecil apa pun itu.

Di sisi lain mengabaikan tantenya sama saja seperti "kacang lupa pada kulitnya". Selama ini tantenya mencurahkan sebagian waktunya, siang dan malam. Ia tak ubah seperti anaknya sendiri yang tiap saat terjaga untuk melihat kembangnya.

Coba bayankan saat ia demam, malam-malam meerengek dan menangis tak karuan. Tantenya ada di sampingnya setia menemni. Ia bisa berakrir pun bukannya karena nasihat dan motivasinya tantenya.

Sejauh ini ia meraskana itu, maka apa rasa tantenya kalau "dipisahkan" dengannya. Betapa sedih dan kecewa hatinya. Betapa terpukul, pedih dan tercabik jiwanya. Di sini letak simalakama antara harus mendengarkan ingin pasangannya atau mengabaikan tantenya demi kerukunan hubungannya.

Niat ke orang pintar itu tak lain tak bukan agar mengurangi resiko besar. Bagaimana caranya agar tantenya bersikap wajar saja tidak terlalu ikut campur mengurusi biduk rumah tangga ponakannya. Singkatnya, aman-aman saja.

Saya menyarankan, daripada datang ke orang pintar, akan lebih baik minta air saja ke kiai atau ustaz. Niatnya tabarukan saja. Sebenarnya saya akan menyarankan untuk dialog agar saling terbuka, tapi entah kenapa hati kecil saya melarang. Kemungkinan saran itu bakal jadi angin lalu saja. Entahlah, ke mana kelanjutannya saya tidak tahu lagi.

Saya rasa kita sudah sama-sama maklum, mendengar atau melihat koflik dingin begini. Bahkan tak sedikit konflik begini telah menghasilkan "cuan" karena berhasil di ekspos atau di elobarisasi ke film-film.

Herannya yang begini selalu punya sensasi sendiri. Apalagi kalau orang sekitar atau kita sendiri mengalaminya, rasanya kok seperti kita yang baru merasakan ujian berat ini di dunia. Kita mungkin menganggap biasa jika orang lain mencertiakan kisahnha, lantas saat kita menceritakan kisah serupa kok dramatis banget.

Pentingnya Legowo

Kalau sudah terjadi dan misalnya kita ada diposisi ini, saya pikir kita tak harus mencari siapa yang salah dan harus disalahkan. Sebab bagaimana pun kita pasti ingin diposisi benar bukan salah.

Kita berpikir wajar akan sikap kita agar keluar dari monopoli orang tua, kan sudah dewasa. Orang tua bisa saja berpikir lain, sekarang saja berpikir begitu karena kamu belum menjadi orangtua seperti saya, mungkin lain lagi kalau sudah menjadi orangtua yang sudah kenyang dengan asam garamnya kehidupan.

Untuk itu, idealnya memang kedua pihak agar menyadari posisinya masing-masing. Orangtua harus menyadari anaknya sudah bukan anak kecil lagi, ia sudah tumbuh menjadi laki-laki matang yang perlu diberi kemerdekaan bersikap.

Bukan berarti lepas tangan seutuhnya. Kalau ia salah ya luruskan, kalau ia benar maka diamkan. Cukup doakan dan jadi penasihat yang bijak. Jangan merasa pula "anaknya dicuri mantunya"  dan melupakan diriinya. Tak seperti dulu lagi.

Begipula serorang anak dan mantu agar berusaha melakukan yang terbaik dan memberikan edukasi saat orangtuanya terus ikut campur. Pasi tak mudah. Pasti butuh waktu. Seiring jalan waktu akan terlihat hasilnya. Terpenting, lurusukan niat dan kondsisten bersikap baik.

Intinya, jangan berhenti belajar. Belajar menjadi pribadi baik yang bikin diri nyaman dan orang lain pun senang. Tak harus semuanya, minimal orang terdekat kita. Wallahu'alam. (***)

Pandeglang, 18 Juni 2024    23.54

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun