Mohon tunggu...
Mahyu Annafi
Mahyu Annafi Mohon Tunggu... Lainnya - Guru Ngaji

Hamba yang sedang belajar menulis, suka membaca dan menelaah berbagai pemikiran. Saya condong menulis ke dunia pendidikan, metal dan isu sosial. Angkatan ke 38 di Kelas Menulis Rumah Dunia (KMRD) di Serang. Sehari-hari berdagang dan menulis di blog.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Begini Rasanya Ditinggalkan Bapak

16 Juni 2024   14:09 Diperbarui: 16 Juni 2024   16:00 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang bisa saya lakukan?

Menghiburnya dan menguatkannya. Wafatnya bapak bukan akhir segalanya. Apa itu mudah? Tidak sama sekali. Saya butuh berulang-ulang mengingatkan untuk kuat, bertahan dan bersabar dengan kenyataan. Semua karena Allah punya hikmah di balik itu. Hadapi apa yang terjadi.

Saya cinta pertamanya. Otomatis ia belum punya pengalaman soal laki-laki. Kalau saya, dikit-dikit mah ada. Di sinilah letaknya, ketika saya harus mendengarkan dan menguatkan pula. Setiap ia menangis rindu kedua orangtuanya, saya selalu bilang, yang sabar dan kuat. Terus begitu.

Saat Bapak Pergi

Setiap ia curhat soal ibu dan bapaknya saya salalu ringan mengatakan, harus kuat, harus sabar dan terima takdir ini sepahit apapun kenyataannya. Tugas hamba adalah menerima kehendaknya.

Semua berubah, saat saya sendiri merasakan kehilangan. Kehilangan bapak,  detik-detiknya pun amat sangat hafal. Saya menyadari, berujar itu mudah yang sulit itu menerima kenyataan.

Sumber: dokumen pribadi 
Sumber: dokumen pribadi 

Bapak perg tanpa riwayat penyakit apa-apa. Wafat seperti orang tidur saja. Ingat masa itu, saya terbengong sekaligus bingung melihat bapak wafat. Tak ada sakaratul maut. Masa iya bapak wafat, kan gak ada ciri jelas. Pikir saya begitu, di waktu itu.

Baik pas proses memandikan juga memasukan ke liang lahat. Rasanya baru kemarin. Saat itu, lemas tubuh saya. Air mata tumpah dengan durasi lama. Ternyata sabar itu tak mudah. Jadi malu dengan nasihat saya sendiri.

Kesimpulan

Dari kisah ia di sana dan kemudian saya rasakan, saya jadi banyak merenung soal hakikat hidup. Betapa selama ini saya punya persepektif soal kehilangan. Harus gini, harus begitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun