Apa yang bisa saya lakukan?
Menghiburnya dan menguatkannya. Wafatnya bapak bukan akhir segalanya. Apa itu mudah? Tidak sama sekali. Saya butuh berulang-ulang mengingatkan untuk kuat, bertahan dan bersabar dengan kenyataan. Semua karena Allah punya hikmah di balik itu. Hadapi apa yang terjadi.
Saya cinta pertamanya. Otomatis ia belum punya pengalaman soal laki-laki. Kalau saya, dikit-dikit mah ada. Di sinilah letaknya, ketika saya harus mendengarkan dan menguatkan pula. Setiap ia menangis rindu kedua orangtuanya, saya selalu bilang, yang sabar dan kuat. Terus begitu.
Saat Bapak Pergi
Setiap ia curhat soal ibu dan bapaknya saya salalu ringan mengatakan, harus kuat, harus sabar dan terima takdir ini sepahit apapun kenyataannya. Tugas hamba adalah menerima kehendaknya.
Semua berubah, saat saya sendiri merasakan kehilangan. Kehilangan bapak, Â detik-detiknya pun amat sangat hafal. Saya menyadari, berujar itu mudah yang sulit itu menerima kenyataan.
Bapak perg tanpa riwayat penyakit apa-apa. Wafat seperti orang tidur saja. Ingat masa itu, saya terbengong sekaligus bingung melihat bapak wafat. Tak ada sakaratul maut. Masa iya bapak wafat, kan gak ada ciri jelas. Pikir saya begitu, di waktu itu.
Baik pas proses memandikan juga memasukan ke liang lahat. Rasanya baru kemarin. Saat itu, lemas tubuh saya. Air mata tumpah dengan durasi lama. Ternyata sabar itu tak mudah. Jadi malu dengan nasihat saya sendiri.
Kesimpulan
Dari kisah ia di sana dan kemudian saya rasakan, saya jadi banyak merenung soal hakikat hidup. Betapa selama ini saya punya persepektif soal kehilangan. Harus gini, harus begitu.