Bukan Ulat
Kita yang kini masih berjuang dalam menulis mungkin seperti ulat. Ulat yang harus berjuang dan terus berproses. Di satu kita percaya diri dengan kualitas karya kita tapi di saat yang lain kita sunggu terluka, kok aku gak jadi apa-apa padahal aku suka menulis, aku suka baca dan suka aktivitsa literasi.
Mengirim ke media, satu per satu beruntun ditolak. Ada karena dengan alasan yang halus, ada pula penolakan yang agak kasar. Yaps, maaf, tulisan anda belul layak dimuat!
Kata orang menulis membuat sukses. Kata orang, membaca membuka jendela dunia, dan kenyataanya sekarang kita belum jadi apa-apa. Kita yang dulu masih seperti yang dulu, belum punya nilai dari kita. Ditolak lagi, dan lagi.
Tiba-tba, kita ingin menyerah. Kita pun berpikir mungkin dunia kepenulisan bukan jalanku. Jalanku lain. Kita merasa terluka oleh hobi kita. Kita ingin dikenal tapi itu tidak mudah. Ada fase dan proses. Kita berada di fase ulat sekarang.
Menjadi kepompong
Jangan dulu menyerah. Di kondisi ini bisa jadi Tuhan ingin kita mengencangkan sabuk. Tuhan ingin kita tak cemen dengan kenyataan. Tuhan kita ingin terus berusaha sampai di mana nanti kita sukses atau mendapat piala lain dari olah tangan kita.
Di fase ini pena kita kita teruji. Kita harus meredam pikiran negatif, menenangkan diri. Tidak berpikir "sukses" terus menerus. Berhenti membandingkan dengan yang lain, mereka yang lebih dulu sukses dari kita.
Kita harus "bertapa dengan karya kita", bisa jadi selama ini karya kita kurang diminati karena kurang gurih, kurang lezat dan kurang nyerah. Kita harus mencari ke kedalaman lauatan hidup dan mengobak-abik makna di dalamnya.
Nanti kita menemukan mutiara di dalamnya. Di fase ini kita tersadarkan semua butuh proses. Kita terus menulis dan berlatih. Tunggu beberapa saat, karya kita akan dikenal dan nama kita akan di lembaran sejarah!
Saatnya Menjdi Kupu-Kupu