Beberapa detik setelahnya, salah satu siswa mengangkat tangan dan menyela. Dengan senyum yang saya rekahkah dengan setulus-tulusnya, saya persilahkan ia menanggapi atau mengemukakan pendapatnya. Tentu, ini kegirangan di benak saya, karena siswa mulai aktif dan antusias terkait tugas-tugas yang saya berikan. “aah mungkin ini karena mereka termotivasi dari tugas minggu lalu” pikir saya. Tanpa ba bi bu ia bertanya “ada hadiahnya kan bu? Untuk siswa yang laporannya paling bagus?” Seketika, hancur sudah harapan saya, ee ternyata hadiah lagi.
Tidak selesai di situ, jawaban “ada” yang saya pikir adalah jawaban tebaik dan tersimple. Ternyata membuat percakapan jadi lebih kompleks. Beberapa siswa lain berebut bertanya, layaknya Z, seorang siswa yang pendiam. Bahkan seringkali saya hanya mendapat senyum manis dari beberapa pertanyaan yang saya ajukan kepada Z. Namun, sejak saat itu saya tahu, dia aktif dan sangat cocok untuk menjadi provokator, di luar koridor materi pembelajaran.
“Apa Bu hadiahnya?” Tanya Z, “Rahasia donk!” jawab saya sekenanya. “Ah kalo gitu, kita nggak mau ngerjakan bu, ya kan rek?” jawab Z tak mau kalah, yang di-iyakan serempak oleh teman lainnya.
Setelah itu, obrolan mulai meluas, bukan hanya berkutat pada ada atau tidaknya reward, namun mulai spesifik pada jenis reward yang mereka inginkan. Beberapa jurus negosiasipun saya gunakan. Namun, alih-alih saya memenangkan medan pertempuran, bunyi tet-tet yang memaksa saya menyerah, sekaligus tersadar, jika 2 jam pelajaran (2x 35 menit) hanya saya isi dengan perdebatan remeh temeh terkait wujud reward. Persis, seperti Ghibahin tetangga sebelah yang membuat kita lupa waktu, eh.
Saya akui reward memang memotivasi siswa. Mengaktifkan siswa? iya. Contohnya Z tadi. Tapi mbok ya jangan gitu-gitu amat Bambang!.
Bisa-bisanya mereka lebih excited membahas tentang hadiahnya, bukan pada substansi tugasnya. Wujud hadiahnya pun dipermasalahkan. Dalam wujudnya, siswa punya standar minimal. Seolah-olah reward yang dijanjikan harus lebih baik dari yang pernah diterima. Dan hal ini akan berpengaruh pada tugas-tugas selanjutnya. Terus menerus. Secara berulang-ulang, dari waktu ke waktu. Dari pertemuan pembelajaran satu, ke pertemuan selanjutnya.
Hanya soal waktu, cetakan-cetakan matrealis ini tumbuh. Berkembang menjadi manusia-manusia kapitalis (eh, kog ke sini larinya?)
Reward jadi semacam hal yang membuat seseorang menginginkannya lagi, dan lagi. Dengan dosis yang tentu diharapkan meningkat dari waktu ke waktu.
Hingga akhirnya, saya mendapat jurus yang lebih jitu. Keluar dari belenggu reward. Yah, reward bukan satu-satunya motor penggerak suatu usaha. Siswa bukan 100% sama dengan hewan yang menjadi sampel uji coba Pavlov. Yang hanya ikut pola kebiasan. Ia manusia, yang diberkahi akal untuk memproses berbagai hal. Memiliki kebiasaan namun tetap berlandaskan pemikiran.
Karenanya, ada banyak opsi-opsi lain untuk memotivasi siswa. Salah satunya dengan menunjukkan maksud dan manfaat usaha yang mereka lakukan. Menunjukkan hasil akhir yang diharapkan dalam suatu proses pembelajaran.
Saya yakin, semua anak bisa diajak berpikir. Terlebih untuk kehidupan mereka yang lebih baik. Mereka akan lebih antusias.