Mohon tunggu...
Nurul MahruzahYulia
Nurul MahruzahYulia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Ordinary Girl

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Reward untuk Siswa, Zat Adiktif Berbahaya

31 Agustus 2020   07:31 Diperbarui: 31 Agustus 2020   07:23 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dapatkah kita menghitung berapa banyak hadiah atau reward yang pernah kita terima saat hidup? Masih ingat momen-momen ketika kita mendapatkannya? Mungkin senang, bahagia, atau bahkan haru. Yah, setiap kita pasti suka akan hadiah atau reward tersebut. Dan hadiah ini dipandang sebagai suatu hal yang penting, tidak terkecuali di dunia pendidikan.

Teori tentang reward dalam dunia pendidikan bukanlah hal yang baru. Bahkan relasi ini dapat kita temui gaungnya dalam teori yang dirumuskan Ivan Petrovich Pavlov yakni “Classical Conditioning”. Di mana hadiah ini, sengaja diwujudkan sebagai faktor penentu dalam membentuk pola perilaku.

Teori tersebut memandang hadiah merupakan bentuk stimulus. Dan perilaku yang diharapkan adalah sebuah respon.

Dari penelitian Pavlov, kita dapat mengambil inti bahwa, hadiah dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.

Disini, saya tidak hendak mendebat teori garapan Pavlov dan beberapa orang yang telah menyempurnakannya.  Dulu bahkan saya termasuk pemuja teori reward ini. Namun, lambat laun, kepercayaan saya bergeser. Tatkala mencoba membuka mata dan telinga, pada protes-protes yang dulu saya anggap tidak penting, terkait dengan hak prerogatif guru dalam memberikan hadiah.

Konkrit masalahnya begini, ketika memberikan reward pada salah satu siswa di kelas, pasti ada beberapa siswa lain yang komplain. Atau bahkan komplain disampaikan oleh si penerima reward tersebut, terkait jenis reward yang ia dapatkan. Awalnya saya anggap ini biasa. Dan anggapan saya ini, rasa-rasanya jamak dimiliki oleh para pendidik lainnya. Namun seiring berjalannya waktu dan intensitas protes yang terus meningkat, saya juga sedikit berpikir, sedikit, yah dikit banget. "Ada yang tidak beres gaes".

Dari situlah, refleksi terkait reward muncul. Niat baik, nyatanya tidak selalu berbuah manis, sedikit asam atau busukpun biasa. Bahkan kadang buahnya hilang, dimakan kalong, eh.

Komplain-komplain dari siswa lain (yang tidak dapat reward), agaknya membuat sadar. bahwa apa yang saya lakukan dapat memicu perasaan iri. Tersisihkan. Bahkan, bukan tidak mungkin hal ini menjadi benih sebab terjadinya bullying.

Bagi mereka yang dapat reward, reward juga bisa menimbulkan kecemasan. Loh kog cemas? Kan dapat hadiah, kenapa bisa cemas? Yah, hal itu bisa terjadi tatkala reward tidak dilakukan secara konsisten. Siswa mengalami ambiguitas di kontruksi berfikirnya, ada kebingungan saat ia melakukan sesuatu, namun tidak mendapat reward. Tidak semua siswa, tapi tidak menutup kemungkinan ada kondisi psikologis yang demikian.

Jadi? Reward harus diberikan secara terus menerus? Eits, tidak semudah itu Ferguso. Reward yang dilakukan secara terus menerus juga akan menyuburkan rasa pamrih pada siswa. Ia selalu berharap untuk mendapat reward dari gurunya. Lebih ekstrim lagi, reward ini bisa diumpamakan bensin bagi motor. Tanpanya? Ambyar bos.

Saya punya pengalaman menegangkan terkait reward. Begini ceritanya. Pada pagi yang sedikit mendung, saya memberi penugasan proyek bagi siswa. Di tengah-tengah keasyikan saya memaparkan tugas proyek tersebut, ekor mata saya melirik beberapa kelompok siswa, yang tengah asyik berdiskusi, seolah-olah merencanakan rancangan tugasnya. Ada rasa bahagia di hati, “wah, model pembelajaran yang saya pilih tepat nih, anak-anak antusias banget” batin saya.

Beberapa detik setelahnya, salah satu siswa mengangkat tangan dan menyela. Dengan senyum yang saya rekahkah dengan setulus-tulusnya, saya persilahkan ia menanggapi atau mengemukakan pendapatnya. Tentu, ini kegirangan di benak saya, karena siswa mulai aktif dan antusias terkait tugas-tugas yang saya berikan. “aah mungkin ini karena mereka termotivasi dari tugas minggu lalu” pikir saya. Tanpa ba bi bu ia bertanya “ada hadiahnya kan bu? Untuk siswa yang laporannya paling bagus?” Seketika, hancur sudah harapan saya, ee ternyata hadiah lagi.

Tidak selesai di situ, jawaban “ada” yang saya pikir adalah jawaban tebaik dan tersimple.  Ternyata membuat percakapan jadi lebih kompleks. Beberapa siswa lain berebut bertanya,  layaknya Z, seorang siswa yang pendiam. Bahkan seringkali saya hanya mendapat senyum manis dari beberapa pertanyaan yang saya ajukan kepada Z. Namun, sejak saat itu saya tahu, dia aktif dan sangat cocok untuk menjadi provokator, di luar koridor materi pembelajaran.

“Apa Bu hadiahnya?” Tanya Z, “Rahasia donk!” jawab saya sekenanya. “Ah kalo gitu, kita nggak mau ngerjakan bu, ya kan rek?” jawab Z tak mau kalah, yang di-iyakan serempak oleh teman lainnya.

Setelah itu, obrolan mulai meluas, bukan hanya berkutat pada ada atau tidaknya reward, namun mulai spesifik pada jenis reward yang mereka inginkan. Beberapa jurus negosiasipun saya gunakan.  Namun, alih-alih saya memenangkan medan pertempuran, bunyi tet-tet yang memaksa saya menyerah, sekaligus tersadar, jika 2 jam pelajaran (2x 35 menit) hanya saya isi dengan perdebatan remeh temeh terkait wujud reward. Persis, seperti Ghibahin tetangga sebelah yang membuat kita lupa waktu, eh.

Saya akui reward memang memotivasi siswa. Mengaktifkan siswa? iya. Contohnya Z tadi. Tapi mbok ya jangan gitu-gitu amat Bambang!.

Bisa-bisanya mereka lebih excited membahas tentang hadiahnya, bukan pada substansi tugasnya. Wujud hadiahnya pun dipermasalahkan. Dalam wujudnya, siswa punya standar minimal. Seolah-olah reward yang dijanjikan harus lebih baik dari yang pernah diterima. Dan hal ini akan berpengaruh pada tugas-tugas selanjutnya. Terus menerus.  Secara berulang-ulang, dari waktu ke waktu. Dari pertemuan pembelajaran satu, ke pertemuan selanjutnya.

Hanya soal waktu, cetakan-cetakan matrealis ini tumbuh. Berkembang menjadi manusia-manusia kapitalis (eh, kog ke sini larinya?)

Reward jadi semacam hal yang membuat seseorang menginginkannya lagi, dan lagi. Dengan dosis yang tentu diharapkan meningkat dari waktu ke waktu.

Hingga akhirnya, saya mendapat jurus yang lebih jitu. Keluar dari belenggu reward. Yah, reward bukan satu-satunya motor penggerak suatu usaha. Siswa bukan 100% sama dengan hewan yang menjadi sampel uji coba Pavlov. Yang hanya ikut pola kebiasan.  Ia manusia, yang diberkahi akal untuk memproses berbagai hal. Memiliki kebiasaan namun tetap berlandaskan pemikiran.

Karenanya, ada banyak opsi-opsi lain untuk memotivasi siswa. Salah satunya dengan menunjukkan maksud dan manfaat usaha yang mereka lakukan. Menunjukkan hasil akhir yang diharapkan dalam suatu proses pembelajaran.

Saya yakin, semua anak bisa diajak berpikir. Terlebih untuk kehidupan mereka yang lebih baik. Mereka akan lebih antusias.

Reward boleh. Tapi syarat dan ketentuan berlaku, Cik Gu ! :D

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun