Seseorang terkadang singgah hanya untuk berbagi beban, untuk membebaskan diri dari kepenatan, dengan bercakap-cakap bersama seorang yang dipercaya. Meluapkan apa yang menjadi nodul-dodul di hatinya. Seperti sore itu, saat awan tampak murung. Mega-mega matahari sedang bersembunyi di balik awan-awan hitam yang berderet, siap melesatkan rentetan air hujan.
Sesosok perempuan mengetuk pintu rumahku, tepat ketika tetesan air hujan menderu, berjatuhan di atas dedaunan yang seketika berubah, lebih segar dari biasanya. Yang percikannya mengalun, mengetuk-ngetuk atap rumah, membentuk sebuah irama yang cukup merdu.
“Assalamu’alaikum,” ucap perempuan itu di depan daun pintu yang sedikit tertutup.
“Wa’alaikum salam warahmatullah,” sahutku dengan seulas senyum dengan mata yang tampak sayu karena rasa kantuk.
“Apa aku mengganggumu?” ucapnya setengah ragu.
“Nggak, masuk ajah, suasananya memang bikin ngantuk-ngantuk gimana gitu,” jawabku seraya masuk ruang tengah, mencari sesuatu yang bisa kuhidangkan.
Lulu kukeluarkan beberapa kue dan teh hangat di atas meja. Aku mengenal perempuan ini sejak aku belum mampu membersihkan ingusku dengan tisu. Yah, sejak kami duduk di bangku TK. Rumah kami berjarak cukup jauh, berbeda desa, satu kecamatan. Tapi takdir kami cukup dekat. Sejak TK sampai SMP kami bersekolah di tempat dan kelas yang sama. Dan hampir selama itu pula kami duduk bersebelahan, teman sebangku.
“Apa kabar?” tanyaku berbasa-basi setelah meletakkan beberapa hidangan.
“Aku mau pergi, Ndut,” Jawab datar perempuan cantik yang ada di depanku.
“loh, kan baru datang, belum diminum juga,” sahutku memaksa polos.
“Ndut, jangan bercanda, nggak lucu,” jawabnya sembari melotot.