Mohon tunggu...
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Jauhari Ali Mohon Tunggu... -

manusia yang sedang belajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ritual yang Menggemai Luka

17 Agustus 2011   16:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:41 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

selia, bagiku, hari ini ada yang berbeda,

tak seperti kemarin, tapi entah menurutmu

hari ini: kulihat orang-orang berbaris bagai ribuan serdadu di tanah lapang

bendera-bendera dikibarkan sepenuh tiang, sebagiannya telah karatan

dan lembaran-lembaran kain itu terkadang bergerak-gerak lincah

diembusi angin yang tersentuh oleh geliat mereka yang kehujanan,

kepanasan, siang-malam tanpa atap mewah, selia

entah, apa kau pun tahu soal itu

begitu pula pidato-pidato

beterbangan melingkupi seatero tanah yang kian ranggas

kata-katanya klise, itu-itu saja dari dulu: "merdeka! merdeka! merdeka!"

lagu-lagu syahdu ikut serta didendangkan di ruang gelap dan pengap

juga puisi-puisi tentang angka 17 dituliskan dengan megah tanpa darah

di atas kertas bersih dengan tinta berwarna merah saga

serta, lomba warisan Belanda hendak digelar bersama canda tawa

semuanya telah menjelma ritual yang tak pernah lesap

berembus, merisikkan dedaunan di pekaranganmu

yang seakan berbinar-binar, dan aku yakin kau pun mengetahuinya

dan sungguh sayang, selia

semua itu tak mengubah keadaan panjang sejak dulu, bukan

lihatlah bibir kran di tempatku, tetap saja mengering saat senja tiba

bahan bakar rakyat langka seperti ada yang meminumnya,

ya, meminumnya

lampu-lampu diredupkan di jalanan sepi

bahkan listrik padam berkali-kali

juga banyak penyakit bertahta tanpa fasilitas yang wah

begitu pula gubuk-gubuk reot

masih berjejer menghiasi wajah-wajah kota

kupu-kupu remang pun dibiarkan mengepakkan sayap manja

di antara pencurian besar-besaran yang kian perkasa

serta, .... hmm,

lalu di manakah kesaktian ritual itu, selia

apakah hanya sebatas suara

yang menggelegar memenuhi ruang-ruang senyap

juga meluluhkan batu-batu cadas di sekitarnya

atau hanya kerapian wujud diiringi jingkrak pesta pora, sesaat ada,

kemudian hilang seperti disapu siklon tropis yang dahsyat

selia, tampaknya ritual itu tak cukup meredakan segala sakit yang ada

apalagi menyembuhkan semuanya pada bait-bait duka,

walau suaramu mendentumi seisi alam di bawah cakrawala yang mega

Tanah Borneo, 17 Agustus 2011

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun