PRESIDENSI G20 DI INDONESIA
Peran G20 bagi Indonesia sangat penting, terutama meningkatkan perekonomian yang tengah ditargetkan, memberikan perhatian dunia terhadap Indonesia. Lalu apa itu G20 sebenarnya?
G20 merupakan Forum kerjasama multilateral yang terdiri dari 19 negara utama dan Uni Eropa.
Berbeda dari kebanyakan forum multilateral, G20 tidak memiliki sekretariat tetap.
Fungsi Presidensi dipegang oleh salah satu negara anggota, yang berganti setiap tahun.
Negara pendiri G20 adalah Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Britania Raya dan Amerika Serikat. Atau lebih dikenal dengan sebutan G7. Sedangkan anggotanya terdiri dari Afrika Selatan, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, China, India, Indonesia, Meksiko, Korea Selatan, Rusia, Turki dan Uni Eropa.
G20 dibentuk untuk mendiskusikan kebijakan-kebijakan dalam rangka mewujudkan stabilitas keuangan Internasional.
Setelah Italia sebagai Presidensi G20, secara langsung pada 31 Oktober 2021 telah melakukan serah terima kepada Indonesia.
Indonesia diberi kesempatan menjadi tempat terselengaranya forum G20, tepatnya di Bali.
Tema yang diangkat G20 tahun 2022 di Indonesia adalah " Recover Together, Recover Stronger ". Dengan tema ini, Indonesia ingin mengajak seluruh dunia untuk bahu membahu saling mendukung untuk pulih bersama serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan.
PERAN BANK INDONESIA DI G20
Bank Indonesia bekerja sama dengan BIS Innovativ Hub menyelenggarakan G20 Tech Sprint 2022, sebuah ajang atau kontes bertaraf internasional dengan tujuan mencari dan mengembangkan solusi berbasis teknologi yang aplikatif untuk menjawab tantangan dengan tema Central Bank Digital Currency (CBDC).
Bank Indonesia memegang peranan penting sebagai tuan rumah dalam Presidensi G20 2022, tentunya forum ini telah membuat Indonesia menjadi fokus perhatian dunia. Untuk mendukung Presidensi G20 Indonesia 2022, Bank Indonesia menyelenggarakan " G20 Bank Indonesia-Stronger Fest "
INVESTASI HIJAU UNTUK INDONESIA
Target pendapatan perkapita Indonesia 12.000 dollar AS - 13.000 dollar AS.
Bisa dibayangkan, bila target ini tak tercapai maka Indonesia tak bisa lepas dari negara berpendapatan menengah (Middle Income Trap)
Lalu apa yang bisa mendongkrak agar target tersebut tercapai??
Seperti kita ketahui, Indonesia adalah salah satu dari 40 negara yang menandatangani deklarasi Global Goal to Clean Power Transition di KTT Perubahan Iklim ke 26.
Indonesia berkomitmen untuk mencapai target nol emisi pada 2060 atau paling cepat sekitar 2040. Bantuan keuangan dan teknis dari komunitas internasional sangat diperlukan untuk mencapai targetnya.
Indonesia memiliki program pertumbuhan ekonomi hijau. Ekonomi hijau adalah kunci peningkatan pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan dan inklusivitas sosial.
Investasi hijau baru populer belakangan ini dengan disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja, meski jumlah penerbitan instrumen green investment ini masih terbatas.
Konsep investasi hijau ini juga menekankan pentingnya proteksi lingkungan yaitu menjaga habitat, rehabilitasi hutan serta perlindungan keanekaragaman hayati. Ketika lingkungan terjamin maka proses produksi tentu tidak akan terhambat dan dapat berjalan lancar.
Untuk mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim (global warming), partisipasi pihak investor swasta sangat diperlukan terutama dalam mendukung pengadaan infrastruktur. Dukungan ini sangat mempengaruhi perputaran ekonomi.
Kontribusi negara maju untuk Indonesia juga diperlukan termasuk alih teknologi yang disediakan juga program pendukung untuk mencapai target dari hambatan-hambatan termasuk pandemi.
Mobilisasi pendanaan iklim dan pembiayaan inovatif akan terus dilakukan, sebab pendanaan iklim merupakan game changer dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara berkembang.
Dalam laporan intergovernmental panel on climate change (IPCC/Panel antar pemerintah tentang perubahan iklim) telah dijelaskan mengenai dampak perubahan iklim terhadap kehidupan dan mata pencaharian di negara-negara berkembang terutama negara kepulauan dan negara pulau kecil.
Perubahan iklim memengaruhi produksi pangan, meningkatkan risiko bencana terkait iklim dan menghantam negara- negara miskin hingga sulit bangkit.
Melalui Undang-Undang tentang harmonisasi peraturan perpajakan, pemerintah tengah menyusun draf peraturan pemerintah tentang nilai ekonomi karbon untuk mengatur mekanisme perdagangan karbon, termasuk harga dan pajak karbon.
Untuk memperkuat diplomasi ekonomi Indonesia dalam penanaman modal asing langsung (FDI), Kementrian Investasi dan Kementrian Luar Negri membuat nota kesepahaman, yang berkonsentrasi untuk menargetkan peluang investasi hijau untuk mendorong investor di sektor kesehatan, menarik FDI hijau dan ramah lingkungan serta menargetkan mitra strategis dalam Sovereign Weath Fund (SWF).
Syarat investasi asing di sektor ekonomi hijau adalah ramah lingkungan, mendidik tenaga kerja lokal, bersedia melakukan alih teknologi dan memberikan nilai tambah bagi Indonesia dalam pengelolaan sumber daya mineral.
Ekonomi hijau sangat menguntungkan negara. Menurut Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) jalur pembangunan rendah karbon menuju nol emisi karbon pada 2045, dapat menghasilkan tingkat pertumbuhan PDB rata-rata 6 persen per tahun, diatas proyek bisnis biasa seoerti ini.
Program ini diperkirakan dapat menciptakan 15,3 juta lapangan kerja dan yang paling penting menciptakan negara sebagai tujuan utama investasi hijau.
Dengan investasi hijau kita semua berharap, Indonesia kembali memulihkan dan meningkatkan perekonomian serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan, Indonesia termasuk negara maju dengan terpenuhi target-targetnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H