Dikorek-korek, dikorek-korek
makin teguh bersembunyi
di antara sulur-sulur hitam
di lembab dinding goa.
Ia, seolah bernyawa dan
telah pasang alarm bahaya.
Si pencari tak kalah daya.
Setelah yakin benar
koordinat target operasi
mengarah titik
Ia tunjuk empat kamerad
dengan varian postur
serba berlainan.
Satu kecil dan lincah,
Si gempal bertenaga,
Yang jangkung luas daya jelajahnya,
sedang yang tampan punya gaya kait.
Di dalam, sang target
merenungi nasib.
Tak sampai menyesal
karena selalu ingat
jika semua miliki peran
tersendiri di satu cerita.
"Dan saat ini, aku
adalah musuh bersama
bagi komplotan penggali itu."
Dipandangi gelap sekitar.
Mencari-cari alternatif
akan realita sehari-hari
yang walau repot sungguh
enggan ia lepas begitu saja.
Gelap masih ditatap
menunggu dinding terbuka
menoreh jalan keluar.
Harapan, harapan
hanyalah harapan
satu-satunya pilar
yang bisa ia peluk
pada masa genting begini.
Lamat-lamat gelap itu makin purna.
Tim gali ingin segera rampungkan
misi yang jadi beban. Masih pula, ia
menatap. Kini ke arah penggali.
Pelan dan pasti. Gerak dari antagonis eksistensinya. Seiring erat genggaman
pada sulur-sulur hitam, ia kecup harapan
dalam-dalam, dan dilepasnya.
Dan dilepasnya.
"Adeeek, ini Mama bawa kue!"
"Mauuu!"
"Cuci tangan dulu sana."
"Siap, Mah!"
Alarm tak lagi kontraksi.
Sepi. Sepi yang jernih.
"Kasih ibu sepanjang masa"
itu benar adanya, kawan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H