Masih dalam suasana libur akhir tahun, saya membaca sebuah buku tentang pendidikan. Buku tersebut berjudul Teach Like Finland. Buku ini ditulis oleh seorang guru SD asal Amerika Serikat yang berpindah untuk mengajar di Finlandia. Dalam bukunya, penulis banyak membandingkan pengalaman menjadi guru di negara asalnya dengan di Finlandia.
Seperti yang banyak diberitakan, Finlandia menjadi negara yang mengguncang dunia setelah hasil PISA pertama diumumkan. Tak banyak yang menyangka bahwa negara ini mampu menjadi yang terbaik, bersaing dengan negara-negara maju lainnya. Sejak itu, dunia pendidikan global mulai menaruh perhatian pada Finlandia.
Dari sudut pandang saya, ada satu hal menarik dari buku ini. Di bagian akhir, penulis menyampaikan sebuah pesan, "Jangan lupa bahagia." Pesan ini ditujukan kepada seluruh pendidik yang ingin belajar dari Finlandia. Tak dapat dipungkiri, pembahasan tentang kebahagiaan sangat kental di dalam buku ini. Penulis seolah ingin menekankan bahwa kebahagiaan adalah pilar penting dalam sistem pendidikan di Finlandia.
Bukan sistem pendidikan Finlandia yang ingin saya bahas kali ini, tetapi pesan penulis tentang kebahagian yang menarik perhatian saya. Banyak orang mendiskusikan kebahagiaan. Para ahli dari berbagai disiplin ilmu mencoba memahami kebahagiaan dari perspektif masing-masing. Dari berbagai disiplin ilmu, filsafat menjadi salah satu bidang yang paling sering dikaitkan dengan pembahasan tentang kebahagiaan.
Ilmu filsafat memang telah lama membahas tema kebahagiaan, mulai dari filsafat Yunani hingga filsafat Islam, dari filsafat Barat hingga filsafat Timur. Setiap aliran memiliki pendekatan yang berbeda dalam menjelaskan kebahagiaan. Perbedaan tersebut menjadikan kebahagiaan sebagai tema yang terus digali dan didiskusikan hingga saat ini.
Sejujurnya, saya sendiri belum sepenuhnya memahami konsep kebahagiaan. Beberapa pertanyaan sering muncul di benak saya. Apakah saya sudah bahagia dalam hidup ini? Hal apa yang sebenarnya membuat saya bahagia? Bagaimana saya bisa mempertahankan kebahagiaan yang saya rasakan? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini kerap menghantui pikiran saya.
Kita semua pasti pernah merasa bahagia. Namun, apakah kebahagiaan itu benar-benar kebahagiaan yang sejati? Ataukah itu hanya kebahagiaan fisik semata? Lantas, apakah kita bisa terus merasa bahagia? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, diperlukan pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep kebahagiaan.
Sebagai orang awam, saya belum mampu mendefinisikan kebahagiaan dengan jelas. Namun, satu hal yang pasti, saya tidak pernah merasa bahagia secara sempurna. Sebagai contoh, saya menganggap liburan sebagai sebuah kebahagiaan---baik kebahagiaan jasmani maupun rohani. Tetapi, setelah liburan usai, apakah jasmani dan rohani saya tetap merasa bahagia?
Rasanya sulit menjaga kebahagiaan yang dirasakan saat liburan. Ketika liburan berakhir, kebahagiaan itu seolah-olah menghilang, dan rutinitas sehari-hari membuat kita kembali lupa untuk merasa bahagia. Bahkan, bagi sebagian orang, masa liburan pun tidak dapat dirasakan dengan bahagia karena selalu dibayangi oleh realitas yang harus dihadapi setelah liburan usai.
Lantas, bagaimana cara kita bisa benar-benar bahagia?
Satu hal yang perlu dipahami, kebahagiaan berkaitan dengan hati, bukan akal yang bekerja dengan logika. Kebahagiaan juga tidak berkaitan dengan tubuh atau jasmani, yang hanya terpuaskan oleh kelezatan duniawi yang sementara. Hati adalah pusat dari kekuatan jiwa---daya jiwa yang mampu menggerakkan akal dan tubuh untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Inilah yang menjadi puncak kebahagiaan sejati.
Seorang ulama pernah berkata, "Kebahagiaan sejati bukan terletak pada kekayaan, kedudukan, atau kemewahan duniawi, melainkan dalam kemampuan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, menemukan makna dalam pengabdian kepada-Nya, dan merasakan kedamaian di dalam hati."
Kebahagiaan sejati dapat dicapai melalui tiga hal: ibadah, khidmah (pengabdian), dan zikir (mengingat Allah). Mendekatkan diri kepada Sang Pencipta melalui ibadah kepada-Nya, menemukan makna dalam pengabdian melalui khidmah di jalan-Nya, serta merasakan kedamaian dalam hati melalui zikir mengingat-Nya.
Selain itu, kebahagiaan muncul ketika hati mampu menerima segala kondisi yang terjadi. Setiap keadaan dilihat melalui kacamata hikmah. Seseorang yang bersyukur ketika mendapatkan nikmat dan bersabar ketika tertimpa musibah akan hidup dalam kebahagiaan yang senantiasa menyertai.
Alhasil, kebahagiaan adalah hal yang sangat penting dalam hidup. Tanpa kebahagiaan, hidup akan terasa hambar. Kebahagiaan harus dimulai dengan menata hati. Hati yang dipenuhi kedamaian akan membawa kebahagiaan sejati.!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H