Nasionalisme agama banyak terjadi di berbagai belahan dunia. Contoh paling jelas bisa kita saksikan dengan munculnya nasionalisme Hindu di India. Seperti kita ketahui, India memiliki populasi sekitar 1.13 miliar penduduk. Dua agama terbesar yang dianut adalah Hindu dan Islam. 79.8% populasi menganut agama Hindu dan 14.2% menganut agama Islam. Sayangnya kemunculan nasionalisme Hindu ini menyebabkan konflik antar agama.Â
Perseteruan Islam-Hindu di India sejatinya bermula jauh dari abad pertengahan. Pada abad itu terjadi invasi jazirah Arab ke dinasti Hindu di India. Di era kolonialisme, konflik tak pernah memudar dan mencapai puncaknya dengan terjadinya pemisahan India-Pakistan pada tahun 1947.
Di era modern, konflik terus berlanjut seiring dengan munculnya islamofobia di seluruh belahan dunia. Islamofobia hingga kini terus tumbuh subur terutama terjadi di wilayah India. Derasnya arus informasi melalui media sosial semakin memperkeruh suasana konflik yang terjadi.
Masih segar diingatan kita peristiwa "Pembantaian Gujarat" yang terjadi pada tahun 2002 silam. Lebih dari seribu nyawa melayang, baik dari pihak Muslim maupun Hindu kala itu. Peristiwa ini terekam jelas dalam buku yang sempat menuai kontroversi berjudul Gujarat Files: Anatomy of a Cover Up. Buku ini ditulis oleh seorang Jurnalis perempuan India beragama Islam bernama Rana Ayyub.
Konflik Islam-Hindu di India ini menunjukkan bahwa sekularisme tidak bisa berjalan dengan mulus. Netralitas pemerintah dalam beragama tidak bisa memberikan jaminan akan muncul pemimpin-pemimpin sekuler. Bahkan, akhir-akhir ini justru semakin banyak pemimpin populis otoriter bermunculan, terutama di benua Eropa.
Nasionalisme Positif
Lantas, apa yang perlu kita lakukan? Menurut ulama Badiuzzaman Said Nursi, yang perlu dilakukan adalah mengubah makna nasionalisme dalam nasionalisme agama menjadi bermakna positif. Nasionalisme positif akan menimbulkan solidaritas, kerjasama dan kekuatan di antara masyarakat. Nasionalisme positif tidak merugikan agama dan persaudaraan antar manusia.
Dalam bernegara, nasionalisme positif ini bisa kita maknai dengan gotong royong. Gotong royong adalah sebuah istilah yang murni berakar dari budaya kita. Pancasila sebagai dasar negara kita juga memiliki nilai pokok gotong royong.
Jadi, jika nasionalisme agama dimaknai sebagai nasionalisme positif, maka apapun agamanya, tidak akan terjadi konflik antar agama. Karena, tidak ada agama yang mengajarkan konflik. Tidak ada agama yang mengistimewakan suku, ras, atau etnis tertentu. Agama selalu mengajarkan kedamaian dan agama bersifat universal, mengedepankan gotong royong.
Oleh karenanya, nasionalisme agama jangan sampai disalah artikan. Nasionalisme bisa kita ibaratkan seperti halnya sebuah dompet, sedangkan agama diibaratkan sebagai uang yang ada di dalam dompet tersebut. Betapa bodohnya jika kita mementingkan dompet daripada uang yang ada di dalamnya. Padahal yang membuat dompet berharga adalah uang tersebut. Tanpa uang di dalamnya, dompet tak bedanya seperti sebuah kantung tak berharga.
Nilai-nilai agama lebih utama dari sekedar mengedepankan nasionalisme agama. Daripada kita saling mengedepankan ego masing-masing agama, lebih baik kita memfokuskan diri menjalankan ajaran agama kita masing-masing dengan baik. Lebih baik kita bahu-membahu, bergandengan tangan bekerja demi kemanusiaan, tanpa mempersoalkan apapun agama kita.