Mohon tunggu...
Mahir Martin
Mahir Martin Mohon Tunggu... Guru - Guru, Aktivis dan Pemerhati Pendidikan

Penulis: Satu Tahun Pembelajaran Daring, Dirayakan atau Disesali? (Penerbit Deepublish, 2021); Hikmah Pandemi Covid-19 Relevan Sepanjang Masa (Guepedia, 2021); Catatan dari Balik Gerbang Sekolah untuk Para Guru (Guepedia, 2022); Motto: Reflection Notes: Ambil hikmahnya...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sekularisme dan Nasionalisme Agama

18 November 2022   08:47 Diperbarui: 18 November 2022   08:59 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika Anda berkesempatan berkunjung ke negara Turki, maka Anda akan merasakan kekuatan ideologi sekularisme di sana. Sejak dulu, Turki memang identik dengan sekularisme. Dalam kehidupan sehari-hari, sekularisme seolah menjadi sebuah norma yang tidak bisa diindahkan.

Di negara Turki, kita tak akan menemukan simbol-simbol keagamaan di area publik. Begitu juga di gedung-gedung pemerintahan, agama seolah menjadi suatu hal yang tabu untuk ditunjukkan. Meskipun kehidupan beragama di dalam masyarakat masih terasa kental, tetapi restriksi beragama yang diberlakukan pemerintah, mau tak mau memberikan dampak pada kehidupan beragama di masyarakat.

Sekularisme dan Demokrasi

Apa sebenarnya sekularisme itu? Menurut KBBI, sekularisme berarti paham atau pandangan yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama. Secara awam, sekularisme berarti memisahkan antara jasmani (kebendaan) dan rohani, duniawi dan ukhrawi (keagamaan).

Seiring dengan berkembangnya sistem pemerintahan demokrasi, sekularisme semakin diakui keberadaannya. Demokrasi menjadi Tuhan baru yang menghalalkan sekularisme. Norma agama mulai ditinggalkan dan tidak lagi dijadikan acuan utama.

Demokrasi dielu-elukan dimana-mana. Negara yang tidak menganut sistem demokrasi seolah dijadikan musuh bersama dan dikucilkan dari pergaulan dunia. Misalnya Korea Utara. Negara yang memiliki nama resmi Republik Rakyat Demokratik Korea ini dipimpin secara kediktatoran totaliter. Tidak ada demokrasi di negara ini.

Perkembangan demokrasi yang menyebabkan suburnya sekularisme bukan tanpa getah. Restriksi kegiatan keagamaan menyebabkan masyarakat jauh dari agama. Bahkan generasi muda, ada yang akhirnya tidak mengenal agama. Degradasi moral semakin menjadi-jadi. Masyarakat sudah tidak mengindahkan lagi agama dalam kehidupannya.

Pada abad ke-21, mulai terbentuk haluan baru. Demokrasi mulai terdegradasi. Muncul paham baru yang dinamakan populisme otoriter. Populisme otoriter adalah ideologi pemerintahan populisme sayap-kanan yang bertautan dengan nilai-nilai otoriter dalam menjalankan roda pemerintahannya.

Populisme otoriter adalah wajah baru dari fasisme yang mengedepankan pemerintahan otoriter. Paham ini menggiring kepada nasionalisme yang berlebihan (chauvinisme). Yang lebih berbahaya lagi adalah ketika nasionalisme ini dikaitkan dengan agama.

Nasionalisme Agama

Nasionalisme agama banyak terjadi di berbagai belahan dunia. Contoh paling jelas bisa kita saksikan dengan munculnya nasionalisme Hindu di India. Seperti kita ketahui, India memiliki populasi sekitar 1.13 miliar penduduk. Dua agama terbesar yang dianut adalah Hindu dan Islam. 79.8% populasi menganut agama Hindu dan 14.2% menganut agama Islam. Sayangnya kemunculan nasionalisme Hindu ini menyebabkan konflik antar agama. 

Perseteruan Islam-Hindu di India sejatinya bermula jauh dari abad pertengahan. Pada abad itu terjadi invasi jazirah Arab ke dinasti Hindu di India. Di era kolonialisme, konflik tak pernah memudar dan mencapai puncaknya dengan terjadinya pemisahan India-Pakistan pada tahun 1947.

Di era modern, konflik terus berlanjut seiring dengan munculnya islamofobia di seluruh belahan dunia. Islamofobia hingga kini terus tumbuh subur terutama terjadi di wilayah India. Derasnya arus informasi melalui media sosial semakin memperkeruh suasana konflik yang terjadi.

Masih segar diingatan kita peristiwa "Pembantaian Gujarat" yang terjadi pada tahun 2002 silam. Lebih dari seribu nyawa melayang, baik dari pihak Muslim maupun Hindu kala itu. Peristiwa ini terekam jelas dalam buku yang sempat menuai kontroversi berjudul Gujarat Files: Anatomy of a Cover Up. Buku ini ditulis oleh seorang Jurnalis perempuan India beragama Islam bernama Rana Ayyub.

Konflik Islam-Hindu di India ini menunjukkan bahwa sekularisme tidak bisa berjalan dengan mulus. Netralitas pemerintah dalam beragama tidak bisa memberikan jaminan akan muncul pemimpin-pemimpin sekuler. Bahkan, akhir-akhir ini justru semakin banyak pemimpin populis otoriter bermunculan, terutama di benua Eropa.

Nasionalisme Positif

Lantas, apa yang perlu kita lakukan? Menurut ulama Badiuzzaman Said Nursi, yang perlu dilakukan adalah mengubah makna nasionalisme dalam nasionalisme agama menjadi bermakna positif. Nasionalisme positif akan menimbulkan solidaritas, kerjasama dan kekuatan di antara masyarakat. Nasionalisme positif tidak merugikan agama dan persaudaraan antar manusia.

Dalam bernegara, nasionalisme positif ini bisa kita maknai dengan gotong royong. Gotong royong adalah sebuah istilah yang murni berakar dari budaya kita. Pancasila sebagai dasar negara kita juga memiliki nilai pokok gotong royong.

Jadi, jika nasionalisme agama dimaknai sebagai nasionalisme positif, maka apapun agamanya, tidak akan terjadi konflik antar agama. Karena, tidak ada agama yang mengajarkan konflik. Tidak ada agama yang mengistimewakan suku, ras, atau etnis tertentu. Agama selalu mengajarkan kedamaian dan agama bersifat universal, mengedepankan gotong royong.

Oleh karenanya, nasionalisme agama jangan sampai disalah artikan. Nasionalisme bisa kita ibaratkan seperti halnya sebuah dompet, sedangkan agama diibaratkan sebagai uang yang ada di dalam dompet tersebut. Betapa bodohnya jika kita mementingkan dompet daripada uang yang ada di dalamnya. Padahal yang membuat dompet berharga adalah uang tersebut. Tanpa uang di dalamnya, dompet tak bedanya seperti sebuah kantung tak berharga.

Nilai-nilai agama lebih utama dari sekedar mengedepankan nasionalisme agama. Daripada kita saling mengedepankan ego masing-masing agama, lebih baik kita memfokuskan diri menjalankan ajaran agama kita masing-masing dengan baik. Lebih baik kita bahu-membahu, bergandengan tangan bekerja demi kemanusiaan, tanpa mempersoalkan apapun agama kita.

Alhasil, sekularisme dan nasionalisme agama adalah dua titik ekstrim yang perlu dihindari. Keduanya bisa menyebabkan hal-hal yang tidak kita inginkan. Beruntung kita berada di negara yang tidak sekuler dan tidak ada nasionalisme agama yang berlebihan di negara kita. Hal ini perlu kita jaga dengan cara memahami, menghayati, dan menjalankan kehidupan beragama dengan baik dan membawa kebaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun