Ramadan hari kesebelas. Kita masih membahas Kitab Shahih Bukhari, bab tentang iman. Berikut teks hadits kedelapan:
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: "Iman memiliki lebih dari enam puluh cabang, dan malu adalah bagian dari iman."Â (HR. al-Bukhari: 8).
Hadits ini pendek, tetapi memiliki makna yang luar biasa. Hadits ini berbicara tentang iman yang memiliki cabang.
Hadits ini diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah RA. Beliau adalah keturunan Yaman, dan masuk Islam dengan bersyahadat di hadapan Nabi.Â
Beliau masuk Islam relatif belakangan dibanding sahabat terkenal yang lain, tepatnya pada tahun 7 H. Namun, beliau adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits.Â
Maka, ada tuduhan bahwa beliau telah memalsukan hadits, atau membuat hadits palsu.Â
Namun, hal itu terbantahkan. Beliau adalah tergolong ke dalam Ahlus Suffah, yang tinggal di Masjid Nabi SAW.Â
Meskipun beliau lebih telat masuk Islam, tetapi karena tidak ada pekerjaan lain selain belajar dengan Nabi SAW, wajar jika beliau banyak meriwayatkan Hadits.Â
Abu Hurairah adalah lakap panggilannya yang artinya Bapak dari kucing kecil. Hal ini disebabkan karena beliau kemana-mana selalu membawa kucing kecil.Â
Itulah sekelumit tentang Abu Hurairah, perawi hadits ini. Sekarang mari kita kupas isi hadits ini.Â
Dikatakan dalam hadits, iman memiliki lebih dari 60 cabang. Hal ini menarik, karena dalam hadits lain, Imam Muslim menyebutkan 70 cabang.Â
Hal ini bukan kontradiksi. Hal ini bisa dijelaskan karena Al-Quran turun teksnya langsung dari Allah SWT, sedangkan hadits dari Nabi SAW.Â
Maka, para sahabat yang meriwayatkan hadits, ada yang tekstual, ada yang riwayat bil makna.Â
Misalnya, makna pada hadits ini adalah bahwa iman itu bercabang, maka kemudian ada yang menyebut 70 atau lebih dari 60 cabang. Keduanya bukanlah hal yang salah.Â
Dalam hadits ini disebutkan salah satu cabang iman adalah haya atau malu. Namun, kita tidak mendapatkan penjelasan apa saja cabang dari iman itu di dalam hadits. Yang ada hanyalah penjelasan para ulama.
Disebutkan oleh para ulama, cabang iman yang paling tinggi adalah kalimat tauhid, la ila ha illallah. Yang tengahnya adalah rasa malu. Yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan.
Jika kita kaitkan dengan pembahasan iman pada pengantar hadits tentang rukun iman, maka iman itu bisa bertambah dan berkurang.Â
Cabang iman pun begitu. Bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang jika kurang ketaatannya.
Sekarang, mari kita fokus membahas tentang haya atau malu.Â
Kita sering mendengar ungkapan, "Sudah putus urat malunya," jika seorang melakukan keburukan.
Hal ini karena rasa malu itu bagian dari fitrah/bawaan manusia yang telah Allah SWT tanamkan kepada seluruh manusia.Â
Rasa malu juga adalah naluri. Ini bisa kita lihat di dalam Al-Quran ketika menjelaskan peristiwa Nabi Adam AS dan istrinya Hawa turun dari surga.Â
Ketika mereka melanggar larangan Allah SWT, lalu aurat mereka terbuka, mereka buru-buru menutupnya dengan daun surga (QS Al-'Araf: 22).
Inilah fitrah manusia yang malu ketika auratnya terbuka. Hal ini tidak ada yang mengajari, otomatis terjadi.Â
Maka kemudian, mengapa agama memerintahkan untuk menutup aurat? karena hal itu bagian dari menyempurnakan fitrah manusia.
Terkait tentang aurat, ada aturan khusus dalam agama. Misalnya, kita mendapatkan ayat-ayat yang membahas tentang hijab.
Perintah menutup hijab dimulai dengan perintah menjaga pandangan. Ini artinya jangan hanya menuntut orang lain menutup aurat, kita juga harus menjaga pandangan kita, khususnya bagi laki-laki (QS An-Nur: 31)
Misalnya, jika ada laki-laki yang terus memandang perempuan berhijab, maka ini adalah termasuk dosa.Â
Sebaliknya, jika laki-laki menghindari untuk memandang perempuan yang terbuka auratnya, maka ini perbuatan terpuji, dan tidak termasuk dosa.
Maka yang baik adalah laki-lakinya menjaga pandangan, perempuannya menetup aurat. Lingkungan seperti inilah yang proporsional.
Malu itu berhubungan dengan rasa. Maka dalam konteks aurat tadi, rasa malu yang dikedepankan adalah rasa malu melanggar larangan Allah SWT.
Rasulullah SAW juga memiliki sensitivitas rasa malu yang begitu tinggi. Misalnya, dalam ayat dikatakan bahwa jika kita diundang, maka ayat menganjurkan kita untuk datang. Jika telah selesai urusan kita, maka segeralah pulang. Karena dalam kondisi ini, Rasulullah SAW malu untuk menyuruh tamunya untuk pulang (QS Al-Ahzab: 53).
Rasa malu ini salah satu yang membedakan manusia dengan hewan. Maka, ketika manusia kehilangan rasa malu, manusia akan menjadi lebih sesat daripada hewan.Â
Malu itu adalah ketika kita melakukan keburukan, atau melakukan sesuatu yang dilarang Allah SWT, bukan malu untuk melakukan kebaikan.
Kebaikan justru harus dilakukan dengan menghiraukan rasa malu dalam diri kita.
Demikianlah pembahasan hadits tentang malu. Besok kita akan melanjutkan pada hadits berikutnya.
* Refleksi Kajian Ramadan Masjid Inti Iman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H