Rasa malu juga adalah naluri. Ini bisa kita lihat di dalam Al-Quran ketika menjelaskan peristiwa Nabi Adam AS dan istrinya Hawa turun dari surga.Â
Ketika mereka melanggar larangan Allah SWT, lalu aurat mereka terbuka, mereka buru-buru menutupnya dengan daun surga (QS Al-'Araf: 22).
Inilah fitrah manusia yang malu ketika auratnya terbuka. Hal ini tidak ada yang mengajari, otomatis terjadi.Â
Maka kemudian, mengapa agama memerintahkan untuk menutup aurat? karena hal itu bagian dari menyempurnakan fitrah manusia.
Terkait tentang aurat, ada aturan khusus dalam agama. Misalnya, kita mendapatkan ayat-ayat yang membahas tentang hijab.
Perintah menutup hijab dimulai dengan perintah menjaga pandangan. Ini artinya jangan hanya menuntut orang lain menutup aurat, kita juga harus menjaga pandangan kita, khususnya bagi laki-laki (QS An-Nur: 31)
Misalnya, jika ada laki-laki yang terus memandang perempuan berhijab, maka ini adalah termasuk dosa.Â
Sebaliknya, jika laki-laki menghindari untuk memandang perempuan yang terbuka auratnya, maka ini perbuatan terpuji, dan tidak termasuk dosa.
Maka yang baik adalah laki-lakinya menjaga pandangan, perempuannya menetup aurat. Lingkungan seperti inilah yang proporsional.
Malu itu berhubungan dengan rasa. Maka dalam konteks aurat tadi, rasa malu yang dikedepankan adalah rasa malu melanggar larangan Allah SWT.
Rasulullah SAW juga memiliki sensitivitas rasa malu yang begitu tinggi. Misalnya, dalam ayat dikatakan bahwa jika kita diundang, maka ayat menganjurkan kita untuk datang. Jika telah selesai urusan kita, maka segeralah pulang. Karena dalam kondisi ini, Rasulullah SAW malu untuk menyuruh tamunya untuk pulang (QS Al-Ahzab: 53).