Para tetangga datang ke rumah Haji Udin dan bertanya:[Baca disini untuk mengenal Haji Udin]
-Pak Haji, mengapa bulan Ramadan selalu datang lebih awal 10 hari, padahal belum genap setahun kita melewatinya?
Haji Udin sejenak berpikir, lalu menjawab:
-Itu karena bulan Ramadan rindu kepada kita. Jika kalian tak merindukannya, tahun depan mungkin bulan Ramadan tak akan menemui kalian lagi.
Ya, sebuah jawaban cerdas disampaikan Haji Udin. Bulan Ramadan memang adalah salah satu bulan di tahun hijriyah. Tepatnya, Ramadan adalah bulan kesembilan diantara 12 bulan dalam kalender Islam .Â
Seperti kita tahu, penanggalan tahun hijriyah berbeda dengan penanggalan tahun masehi. Jika tahun masehi dihitung dari pergerakan matahari, maka tahun hijriyah dihitung berdasarkan pergerakan bulan terhadap bumi.Â
Inilah yang menyebabkan bulan Ramadan selalu datang kira-kira 10 hari lebih awal setiap tahunnya.
Perbedaan ini mungkin tidak terlalu terasa di negara kita, yang iklim sepanjang tahunnya tidak terlalu banyak berubah.Â
Bagi negara-negara yang berada pada iklim subtropis kedatangan bulan Ramadan 10 hari lebih awal, bisa sangat membawa suasana berbeda. Karena Ramadan selalu bergeser, Ramadan bisa saja datang bertepatan dengan musim panas, semi, gugur atau musim dingin.Â
Jika Ramadan datang bertepatan di musim dingin, maka durasi puasa akan lebih pendek. Sebabnya, karena pada musim dingin, siangnya lebih singkat daripada malamnya.Â
Selain itu, puasa di musim dingin juga lebih tak terasa. Karena udara dingin, tubuh pun tidak banyak mengeluarkan cairan, sehingga haus tak begitu dirasa.Â
Hal sebaliknya terjadi ketika Ramadan datang di musim panas. Durasi puasa menjadi sangat panjang, ditambah lagi panasnya terik matahari yang membuat kita semakin kehausan.
Beruntung kita yang tinggal di negara dimana durasi puasa yang tidak selalu berubah. Negara kita hanya punya dua musim, penghujan dan kemarau.Â
Di musim penghujan, matahari pun masih bersinar dengan teriknya. Begitu juga di musim kemarau, hujan masih sering juga turun mengguyur bumi.
Bagi pelajar, kedatangan bulan Ramadan mungkin bisa menjadi berkah tersendiri. Durasi pembelajaran yang diperpendek, liburan Ramadan dan Idul Fitri yang biasanya lebih panjang dari liburan semesteran, membawa kebahagian berlebih bagi mereka. Bak dapat durian runtuh, kata pepatah.
Banyaknya kegiatan religi di sekolah, seperti ceramah agama, tadarus Al-Quran bersama, dan pesantren kilat menambah kesan suasana berbeda.
Ya, meskipun Ramadan datang pada bulan yang berbeda, pada musim yang berbeda, atau terkadang pada momen yang berbeda, tetapi ada suasana khas Ramadan yang selalu sama.Â
Semua elemen masyarakat menyambut kedatangan Ramadan dengan suka cita. Jalan-jalan di perkampungan di hias dengan ornamen khas Ramadan lengkap dengan spanduk bertuliskan Marhaban ya Ramadhan.Â
Pengurus masjid disibukkan dengan persiapan kegiatan ibadah yang intensitasnya naik di bulan ini.Â
Remaja masjid juga sibuk dengan mengorganisasikan acara buka bersama, pesantren kilat atau pembagian takjil gratis di jalanan.
Pasar-pasar baru yang menjual kuliner khas Ramadan bermunculan, bak jamur di musim hujan.
Kemeriahan Ramadan juga merambah ke dunia digital. Banyak platform media, baik media mainstream atau media sosial yang juga menyambut kedatangan bulan suci Ramadan dengan menawarkan berbagai macam programnya.Â
Ada program yang berbau hiburan dengan balutan nilai religi, ada juga program-program yang memang difokuskan dengan muatan Ramadan. Â Semua orang seolah menjadi lebih religius dengan kedatangan bulan yang mulia ini.
Lantas bagaimana kita perlu menyikapi ini semua?Â
Seperti yang dijelaskan diatas, kedatangan bulan suci Ramadan ada yang membawa suasana berbeda, tetapi ada juga yang membawa suasana  sama. Keduanya becampur aduk menjadi sebuah harmoni indah bulan Ramadan.Â
Namun sayangnya, kebanyakan kita terkadang lupa bahwa kedatangan bulan suci Ramadan seharusnya bisa dilihat dari suasana rohaninya, bukan hanya suasana jasmaninya.Â
Dari sisi rohaninya, perbedaan dan persamaan suasana juga perlu dikelola.Â
Kehadiran bulan Ramadan, berbeda dengan bulan lainnya. Ramadan membawa harta yang tak ternilai harganya bagi rohani kita.Â
Bulan Ramadan bisa diibaratkan sebagai sebuah gerbong kereta yang memiliki berbagai macam hadiah di dalamnya. Kedatangan gerbong itu seharusnya membuat kita bersiap-siap lari ke gerbong tersebut, membuka pintunya, dan mengambil hadiah sebanyak-banyaknya.Â
Seberapa banyak kita bisa mengambil hadiah dari gerbong tersebut sangat bergantung dari persiapan dan suasana rohani kita ketika menyambut kedatangannya.
Sang Pencipta membawakan gerbong itu ke dunia rohani kita dengan gratis tanpa meminta imbalan.Â
Betapa bodohnya kita jika kita tidak mampu mendapatkan hadiah sebanyak-banyaknya dari gerbong itu. Betapa ruginya kita jika tidak mau bergegas mengambilnya, padahal kita tahu gerbong itu tidak datang setiap saat.Â
Suasana rohani kita memang seharusnya berbeda ketika menyambut kedatangan bulan suci Ramadan, bulan yang penuh keberkahan dan kemuliaan ini.Â
Kita seharusnya bisa menggembleng diri di dalamnya agar bisa menjadi insan yang lebih beriman dan selalu taat menjalankan perintah-Nya.Â
Bulan ini harus kita jadikan sebagai pegangan kita untuk bisa menjaga motivasi kita dalam beribadah kepada-Nya.
Ya, motivasi beribadah inilah yang seharusnya kita jaga untuk tetap sama. Motivasi beribadah inilah yang harus bisa kita transfer ke bulan yang lainnya.Â
Motivasi beribadah di bulan Ramadan tak boleh luntur dengan berakhirnya Ramadan. Justru, motivasi ini yang seharusnya bisa meningkatkan kualitas ibadah kita sepanjang tahun, sampai datang bulan Ramadan selanjutnya.Â
Beginilah seharusnya kita memaknai perbedaan dan persamaan suasana di bulan Ramadan. Di tengah suasana rohani yang cenderung berubah-ubah, kita harus mampu memanfaatkan perbedaan dan persamaan dari setiap suasana yang tercipta dengan baik dan penuh tanggung jawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H