Hari kelima Ramadan. Kita masih membahas hadits ketiga di Kitab Shahih Bukhari. Sebenarnya, hadits yang kita bahas ini sepertinya terpisah dari hadits yang kita bahas kemarin, tetapi kedua hadis dimasukkan ke dalam satu rangkaian. Jadi, semacam ada hadits kedua dalam bagian hadits ketiga di Kitab Shahih Bukhari yang kita bahas.
Hari ini saya hanya akan menuliskan penggalan hadits ketiga tersebut. Teks haditsnya sebagai berikut:
Ibnu Syihab berkata, telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa Jabir bin Abdullah Al-Anshari bertutur tentang kekosongan wahyu, sebagaimana yang Rasulullah SAW ceritakan, "Ketika sedang berjalan aku mendengar suara dari langit, aku memandang ke arahnya dan ternyata Malaikat yang pernah datang kepadaku di gua Hiro, duduk di atas kursi antara langit dan bumi. Aku pun ketakutan dan pulang, dan berkata: Selimuti aku. Selimuti aku."
Maka Allah Ta'ala menurunkan wahyu: "Wahai orang yang berselimut" sampai firman Allah "dan berhala-berhala tinggalkanlah". Sejak saat itu wahyu terus turun berkesinambungan.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abdullah bin Yusuf dan Abu Shalih juga oleh Hilal bin Raddad dari Az Zuhri. Dan Yunus berkata, dan Ma'mar menyepakati bahwa dia mendapatkannya dari Az Zuhri. (HR. al-Bukhari: 3)
Hadits ini menceritakan asbabun nuzul dari surah Al-Muddassir. Surah Al-Muddassir sendiri adalah salah satu surah yang turun di periode awal nubuwwah, ketika dakwah Nabi SAW masih dalam bentuk sir (sembunyi).Â
Surah Al-Muddassir yang turun awal ada tujuh ayat. Jika kita renungi, tujuh ayat ini memiliki kandungan landasan kode etik dalam berdakwah.Â
Pertama, dakwah itu intinya mengagungkan Tuhan, mentauhidkan Allah SWT (QS Al-Muddassir: 3). Dakwah tidak bertujuan untuk mengagungkan pendakwahnya, atau menambah jumlah pengikut jamaahnya.
Kedua, ketika berdakwah harus dengan penampilan yang baik dan rapi (QS Al-Muddassir: 4). Berpenampilan baik sangat penting bagi pendakwah, salah satunya akan membuat orang yakin dengan mereka.
Ada sebagian orang berpenampilan seadanya, bahkan cenderung tidak rapi dengan mengatasnamakan zuhud. Hal ini tidak dibenarkan Al-Quran, apalagi bagi para pendakwah.
Ketiga, ketika berdakwah, seseorang harus menjauhi (meninggalkan) perbuatan dosa (QS Al-Muddassir: 5).
Keempat, jangan berdakwah dengan harapan mendapatkan balasan yang lebih banyak atau imbalan (QS Al-Muddassir: 6).
Ayat ini juga dijadikan dasar bagi para ulama yang melarang memberikan tarif dalam berdakwah.Â
Apakah ini artinya pendakwah tidak boleh menerima imbalan? Pastinya pendakwah boleh saja menerima imbalan. Yang tidak boleh adalah menentukan tarif atau mematok harga.
Hal yang sama terjadi dalam belajar. Keikhlasan seorang ustadz atau guru dalam mengajar harus diimbangi dengan keikhlasan juga oleh orang yang belajar. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya kepedulian bagi seseorang yang mengajarkan agama.
Jika seorang pengajar, ustadz atau guru, tidak diperhatikan, misalnya tidak diberi imbalan yang wajar, maka hal itu akan membuat keikhlasannya berkurang.
Kelima, ketika berdakwah harus bersabar (QS Al-Muddassir: 7). Imam Al-Ghazali membagi sabar menjadi tiga. Sabar ketika terkena musibah, sabar menghindari maksiat, dan sabar dalam ketaatan.
Sabar yang paling berat adalah sabar menghindari maksiat. Maksiat itu tidak mesti dalam bentuk dosa besar, seperti mencuri atau berzina.Â
Zaman sekarang, maksiat yang paling nyata adalah maksiat yang kita lakukan di media sosial. Misalnya memposting status yang tidak manfaat, menyebarluaskan berita bohong, atau melakukan ujaran kebencian.Â
Maksiat ini yang perlu dengan sabar kita hindari. Kita harus sabar menggerakkan jari kita dengan mengklik suatu yang tak berguna.
Ya, dakwah memang memerlukan kesabaran. Banyak orang menganalogikan dakwah dengan menabur benih ke dalam tanah. Jika kita ingin melihat benih-benih itu bertumbuhan, maka kita perlu memupuk, dan menyirami.Â
Selain itu, kita juga perlu menjaganya dari cuaca ekstrim dan gangguan hama, serta merawat tumbuh kembang benih-benih tersebut sampai mereka tumbuh menjadi pohon besar.
Setelah semua itu dilakukan barulah kita akan mendapatkan buah yang bisa kita tuai hasilnya.Â
Proses yang dilakukan itu memang sangat memerlukan kesabaran. Memupuk, menyirami, menjaga, dan merawat adalah bentuk kesabaran yang seharusnya aktif kita lakukan.Â
Bersabar, tidak hanya dalam berdakwah, tetapi untuk semua hal baik yang kita lakukan.
* Refleksi Kajian Ramadan Masjid Inti Iman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H